Resensi Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer











Hai Bloggers.. kali ini aku mau ngeriview alias ngeresensi novel yang cukup lama menjadi sumbangan INDONESIA untuk DUNIA hahaha.. Novel ini berjudul Gadis Pantai karya sastrawan yang sangat terkenal di Indonesia yaitu Pramoedya Ananta Toer. Hayoo bagi anak sastra siapa yang gak kenal sastrawan ini? Psti kenal lah ya. Oke dah langsung ajah ke resensinya.. cekidot!!
Judul Buku : Gadis Pantai
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara, Jakarta
Tahun terbit : 2011 (cetakan ke-7)
Jumlah Halaman : 272 hlm
     Gadis Pantai merupakan novel roman klasik yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer yang menceritakan kisah gadis muda dari kampung nelayan yang terpaksa dikawinkan dengan seorang penguasa di daerah Rembang, Jawa tengah. Gadis ini masih berusia 14 tahun kala itu. Ia menangis tersedu ketika dibawa ke kota setelah ia diminta untuk menikah dengan penguasa yang biasa di panggil Bendoro. Sang orang tua menyetujui karena dengan begitulah anaknya akan tinggal di ruang yang tidak lagi tertembus angin laut yang kencang. Menjadi seorang putri yang akan dilayani oleh pelayan bendoro.
     Novel ini banyak mengisahkan kehidupan baru yang dialami oleh Gadis pantai dari kebiasaan-kebiasaan baru yang ia jalani sebagai bendoro putri. Ia harus belajar mengaji, sholat, menjahit dan segala hal yang diperintahkan oleh suaminya. Awalnya gadis pantai menolak, mengapa ia harus melakukan hal tersebut namun karena bujang mengatakan bahwa wanita utama haruus menuruti Bendoro, ciutlah nyali Gadis Pantai. Pernah, ia juga mengatakan pada Bendoro, mengapa ia harus melakukan sembayang dan mengaji, Bendoro menjelaskannya dengan lembut kepada gadis pantai.
     Sejak tinggal dan hidup menjadi bendoro putri, gadis pantai selalu dijerat dengan segala hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Dibatasi berbagai macam peraturan seperti hidup terkungkung oleh peraturan. Segala hal harus menurut pada bendoro yang tak lain ialah suaminya sendiri. Ia merasa seperti bukan gadis yang bebas namun gadis yang penuh dengan tekanan. Penguasa menjadi pihak yang untung dan kaum bawahan menjadi kaum yang melayani penguasa. Penguasa adalah pemilik tanah dan kaum bawahan ialah buruh, seperti itulah yang di saksikan dan di rasakan gadis pantai selama tinggal bersama di paviliun milik suaminya.
     Suatu ketika, Mas Nganten ingin mendengarkan Mbok menseritakan keluarganya. Mbok bercerita bahwa ia dulu pernah menikah dua kali. Kala itu masa kerja rodi, Mbok bercerita bahwa ia dan suaminya dikirim ke Jepara untuk kerja menanam coklat, ia sedang hamil saat itu. Namun bayi itu tak pernah lahir, bayi itu mati di tendang mandor karena mbok keleahan dan istirahat. Suaminya mencoba membantunya namun berakhir sama ditendang hingga berdarah-garah dan mati. Setelah itu mbok dilempar ke gerobak dan di tahan, sejak itulah ia tak pernah bertemu suaminya lagi. Gadis pantai menangis, ia tak menyangka sekejam itu para belanda memperlakukan pelayannya.
     Setengah tahun berlalu dan Bendoro menikah lagi dengan seorang putri asal jepara. Pernikahan tersebut di meriahkan besar-besaran sehingga membuat cemburu Mas Nganten. Bendoro semakin jarang menemuinya. Beberapa hal juga terjadi pada Mas nganten di Paviliun, ia pernah dituduh oleh kerabat bendoro mencuri uang  belanja yang diberikan oleh Bendoro karena ia adalah gadis kampung. Kejadian itu membuat Mas Nganten berpisah dengan Mbok yang setia padanya. Hingga bertemulah gadis pantai dengan seorang gadis yang sedikit lebih tua darinya sebagai pelayan. Namun gadis itu berbeda dengan pelayan yang lain karena ia masih kerabat Bendoro ia merasa tidak sudi melayani seorang gadis kampung seperti Mas Nganten.
     Kisah tersebut lebih menunjukan bahwa sebuah kaum yang memiliki derajat yg berbeda maka akan dibedakan pula sikapnya. Mas nganten pun memilih untuk bertemu dengan orang tuanya di kampung nelayan. Namun keadaan dulu dan sekarang sudah berbeda, orang-orang kampung memandang gadis itu tidak seperti biasanya, bahkan orang tuanya patuh padanya, melihatnya dan memanggilnya tidak seperti dulu dan memasak di dapur juga tak lagi, padahal ia merindukan hal itu. Hingga akhirnya bajak daratpun datang dan berbagai hal terjadi di desa tersebut. Keprcayaan menjadi hal yang sangat penting dalam sebuah masyarakatnya. Ketika kembali ke kota gadis pantaipun hamil dan melahirkan seorang anak perempuan. Bendoro bahkan tidak menjenguknya kala itu, tak lama gadis itu di usir dan tidak di perkenankan membawa anaknya sendiri. Karena pada saat yang sama ia bukan lagi bendoro putri.
     Kisah ini terhenti pada akhir yang secara gamblang menjelaskan bahwa dahulu pernikahan hanya untuk kesenangan para penguasa saja. Gadis pantai dalam cerita ini hanya sebagai selir, sebenarnya hal itu sudah terlihat ketika pertama kali gadis pantai di bawa ke kota. Seorang pelayan yang menyajikan teh membawa seorang bayi yang ibunya sudah tak lagi berada di sana. Karena selir atau bendoro putri yang dulu telah melahirkan dan di usir.
     Novel ini disuguhkan begitu apik oleh Mbah Pram. Sejarah dan kisah Gadis Pantai disajikan sejalan sehingga tak menghilangkan unsur kesejarahan pada zamannya. Dari novel ini juga membuat pembaca menjadi kesal karena sifat kemanusiaan pada zaman dahulu sangat rendah kaum feodal memberdaya kaum golongan bawah sebegitu rupa. Kehidupan gadis zaman dahulu memang tidak jauh dengan perjodohan yang hanya mementingkan kesenangan penguasa.


Novel ini bagus banget rek. Aku beberapa kali kesel sama orang-orang yang merendahkan orang kampung apalagi sama Mardinah yang jadi pengganti pelayan setelah pelayan Gadis Pantai tidak diperkenankan bekerja menjadi pelayan Gadis Pantai lagi. Rasanya puas ketika Gadis Pantai dapat membalikan ucapan si Mardinah itu. Hihi dan bagian paling kesel itu juga pada bagian akhir. Karena aku sendiri juga perempuan, menrutku tidak boleh menemui anak sendiri itu adalah tindakan paling kejam. Bagaimana mungkin seorang ibu dilarang menemui anak yang telah dikandungnya 9 bulan di bawah jantung dan hati ibunya, yang telah dilahirkan dengan susah payah bahkan mempertaruhkan nyawa. Sekali lagi aku nyatakan aku sangat kesal kepada Bendoro, karena yang aku tau ia tau agama, ia sembayang, ia mengaji namun rasa kemanusiaan kok rendah sekali ya? Dimana akal dan hatinya bekerja? Entahlah yang aku tau novel ini bagus banget buat ngupas apa yang terjadi di jawa pada zamannya. Cocok banget di analisis menggunakan teori Feminisme Marxis karena sangat terlihat sekali hak pemilik modal atau penguasa terhadap buruh atau para orang-orang kampung. Hihi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Fasilitas dalam Proses Pembelajaran

Analisis Unsur ekstrinsik Wacana pada novel Rantau 1 Muara bab Daster Macan

Permainan Tradisional