Permainan Tradisional
Jumpritan
Jumprit
kecepit
Dandang
kepedang
Sino
mati njaluk dipedang
Masa kecil adalah masa saat kita bisa
bebas bermain sesuka hati, tentu saja banyak sekali permainan tradisional yang
dulu sering kumainkan. Teringat jelas lirik lagu tembang dolanan yang dulu
sering sekali mengawali permainan petak umpet yang di daerahku disebut tekongan. Sebuah lagu yang digunakan
untuk menentukan siapa yang kalah dan harus menjadi pencari dan menghitung kala
yang lainnya sibuk mencari persembunyian. Jumpritan mungkin hampir sama dengan
‘Hom Pim Pa’ ataupun ‘gunting! batu! Kertas!’ namun yang membedakan ialah
konsentrasi dan kefokusan pada kecepatan tangan sehingga tidak terjebak dalam
genggaman tangan si penadah. Permainan ini akan selalu dianggap mengasyikan
karena dilagukan dengan cara yang unik.
Dulu permainan ini sangat populer di kalangan anak-anak kecil usia 5-10 tahun,
banyak yang sering memainkanya untuk memulai permainan yang selanjutnya.
Jika aku dapat mengilustrasikannya
cara memainkanya pun juga cukup mudah, cari satu orang anak yang memiliki telapak
tang yang cukup besar diantara yang lainnya. Telapak tangan lalu ditelungkupkan
atau bisa juga ditadahkan. Tangan inilah yang paling penting untuk menjadi
ranjau yang akan menangkap si lemot
(karena terjebak). Jika sudah begitu anak-anak lain akan menaruh jari
telunjuknya untuk menjadi pemancing di tengah-tengah telapak tangan tersebut.
Kemudian barulah lagu tersebut dinyanyikan untuk mengulur waktu, lalu ketika
lagu sudah habis maka cepat-cepatlah mereka menarik jari telunjuknya yang
menyentuh telapak tangan temanya yang dijadikan ranjau tadi. Nah, jika ada yang
tertangkap maka dialah yang kalah dan harus menjadi penghitung, namun jika
tidak, lagu tersebut akan dinyanyikan sewaktu-waktu hingga sikalah itu kena
sasaran.
Aku ingat, dulu aku
sering memainkanya saat aku masih Sekolah Dasar. Biasanya aku memainkanya saat
malam hari di depan rumahku atu seringkali saat siang hari ketika istirahat
sekolah. Memainkannya merupakan kesenangan tersendiri unntukku dan
teman-temanku. Aku sering sekali bermain bersama teman-teman sepermainanku yang
kebanyakan satu sebayaku. Karena rumahku dan rumah teman-temanku dekat sehingga
kami lebih sering bermain bersama. Bersama keempat kawanku, Yofi, Disca dan
Afifah yang semuanya adalah perempuan, Yofi lah yang sering kali menjadi ranjau
karena telapak tangannya cukup besar diantara yang lain, dan Afifah yang paling
sering tertangkap dan kalah. Terkadang Yofi juga bermain curang. Lagu yang
dinyanyikan belum selesai, ia sudah menutup telapak tangannya sehingga yang
lainnya pasti terperangkap dalam himpitan jari-jemarinya yang cukup gemuk itu.
Aku terkadang jadi malas kalau sudah seperti itu. Pernah suatu ketika saat Yofi
bermain curang beberapa kali sedang kami sudah memperingatkannya berkali-kali
ia tetap saja seperti itu. Kami putuskan untuk mengganti telapak tangan Afifah
atau Disca. Aku yang memiliki telapak tangan yang paling kecil tidak pernah
dijadikan penadah karena jika aku yang jadi penadah, idak akan ada satupun jari
yang tertangkap oleh tanganku. Sedih juga terkadang, namun tak apalah yang
terpenting aku dapat ermain bersama itu sudah membuatku bahagia.
Hari libur, seperti
hari sabtu malam minggu selalu menjadi waktu terpuaskan untuk bermain. Pada
malam hari, waktu terkadang begitu cepat. Terkadang orang tuaku harus
memanggilku untuk segera pulang dan beristirahat. Ayah selalu memarahiku jika
aku pulang telat. Bagaimana tidak, aku adalah anak perempuan yang tidak boleh pulang
hingga larut. Ibuku sih paling hanya mengajakku saja, namun ayah yang menjadi
pimpinan keluarga menjadi orang yang paling tegas agar aku disiplin waktu.
Pernah suatu ketika nilaiku jelek karena aku keseringan bermain. Tugas dan
ujianpun ada yang lalai kukerjakan. Hingga pada akhirnya karena ada ulangan
dadakan nilaiku tidak seperti biasa. Aku yang saat itu kena hukuman tidak boleh
bermain dalam kamar hanya merenungi perbuatanku. Aku mengintip dari jendela
kamarku dan melihat semua teman-temanku bermain jumpritan dengan gembira. Aku
yang waktu itu masih kecil juga ingin bermain bersama mereka hanya bisa
mengamati dengan perasaan sedih. Hingga pada akhirnya ibu mengetahui
kesedihanku dan bicara pada ayah agar memaafkanku. Akupun diperbolehkan ayah
bermain diluar, namun dengan satu syarat yaitu memperbaiki nilaiku dan tidak
lagi melalaikan tugas dan kewajibanku sebagai pelajar. Aku mengangguk patuh,
menghilangkan raut wajah sedih dan kala itupun menjadi sumringah. Teman-temanku
langsung menyambutku karena mungkin permainan itu kurang seru tanpa aku. Aku
senang sekali ayah memaafkanku dan membiarkanku main bersama teman-teman.
Mengulang masa Sekolah
Dasar (SD) merupakan hal yang sangat menyenangkan bagiku. Pada masa itulah
banyak anak-anak yang masih bermain diteras rumah dan memainkan berbagai
permainan yang ringan namun mengasah banyak sekali nilai kehidupan seperti
tanggung jawab dan gotong royong. Hatiku sesaat bergejolak saat melihat
kenyataan bahwa semuanya sudah berubah dan tidak seperti dulu lagi, ku lihat
banyak sekali perubahan itu, anak-anak hanya berdiam diri di rumah untuk
memainkan permainan elektroniknya hingga mereka yang punya segala jenis
permainan yang lebih mengasyikan bagi mereka. Tahukah, sebenarnya itu salah
satu hal untuk menanamkan sifat individualisme bagi mereka. Benda yang sangat
pintar itu selain membahayakan otak karena radiasinya, merusak mata, dan yang
terparah adalah menjadikan anak-anak malas untuk belajar karena sudah
ketagihan. Sungguh jika memikirkan itu, bukankah sangat malang nasib anak-anak
jaman sekarang? Mereka sama sekali tidak mengenal permainan tradisioanal yang
merupakan salah satu identitas bangsa. Ironi sekali jika suatu
saat bangsa kita tidak mengenal permainan-permainan buatan nenek moyang yang
secara turun temurun menjadi suatu permainan yang pastinya menyenangkan dan
memiliki makna yang positif. Kini saatnya kitalah yang berusaha mengenalkan
kembali permainan tradisional tersebut. Aku hanya berharap orang tua jangan
senang jika sudah memenuhi kebutuhan anaknya sengan gadget canggih. Sebenarnya
bukan karena itu mereka bahagia namun karena kita tak mengenalkan permainan
tradisional. Andai saja seperti itu, mereka pasti sedang bermain
permainan-permainan tradisional itu sekarang. Teknologi memang sudah
mengalahkan segalanya, namun jangan sampai adik-adikku bakal penerus bangsa juga
yang dirusaknya.
Komentar
Posting Komentar