Analisis Novel “Nayla” karya Djenar Maesa Ayu dengan Pendekatan Feminisme Radikal

Analisis Novel “Nayla” karya Djenar Maesa Ayu dengan Pendekatan Feminisme Radikal
Oleh Afinda Dahliyanti Putri (140621100017)

Abstrak: Feminisme radikal merupakan salah satu cara untuk menganalisis sebuah karya sastra yang di lihat dari aspek yang berfokus pada semua jenis bentuk seks gender, dan memandang reproduksi sebagai suatu yang mutlak bagi perempuan. Pendekatan ini dapat di aplikasikan pada novel “Nayla” karya Djenar Maesa Ayu. Novel yang banyak mengambarkan sosok tokoh utama Nayla yang mendapatkan berbagai perlakuan dan nasib seorang remaja perempuan yang mampu melakukan sesuatu yang berbeda dari remaja pada umumnya. Ketidakberdayaan dan trauma seksual sebagai seorang perempuan membuat Nayla menjadi remaja yang dikuasai oleh keinginanya untuk mendapatkan rasa yang ia harapkan. Kehidupannya yang tak jauh dari perilaku seksual membuat Nayla seakan berada putaran yang sama, sehingga ia menyadari bahwa banyak ketidak adilan yang diterima oleh perempuan. Perilaku tersebut juga melanggar  norma kemasyarakatan sangat tidak sesuai dengan budaya yang ada
Kata Kunci: Feminisme, Trauma Seksual, dan Rasa Tidak Adil.

Bab I
Pendahuluan
 
1.1 Latar Belakang
     Pada hakikatnya sebuah karya sastra merupakan replika kehidupan nyata, meskipun terkadang berbentuk fiksi namun karya sastra tetap memiliki dasar yang dilihat dari aspek kehidupan sehari-hari. Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinatif yang menggambarkan sebuah kondisi sosial yang saat itu sedang terjadi, oleh karena itu karya sastra dapat hadir dalam kalangan masyarakat. Seorang pengarang mencoba mmenghasilkan suatu karya yang berasal dari pandangan dunianya tentang realitas sosial yang terjadi disekitarnya untuk menciptakan karya berdasarkan budaya dan kultur masyarakat tertentu. Kuatnya pengaruh budaya dan gaya hidup yang berasal dari peradaban barat tentunya ikut serta melahirkan seorang penulis untuk menciptakan sebuah karya sastra. Seiring dengan hal tersebut, beberapa penulis juga mencoba menuliskan dan menggambarkan hubungan seks dalam karyanya sebagai pembauran pola kehidupan bangsa, karena pengungkapan hal yang berbau seks bukanlah hal yang tabu dalam kehidupan masyarakat pada era sekarang. Sebuah interpretasi berpusat pada perempuan dianggap menjadi persoalan yang menarik untuk diperhatikan karena kaum perempuan selalu ditempatkan pada posisi yang lemah dan menjadi objek penindasan oleh laki-laki.
     Sastra dapat berbagai bentuk representasi budaya yang menggambarkan relasi dan rutinitas jender. Dari berbagai bentuk representasi budaya tersebut terbentuklah sebuah aliran pendekatan karya sastra Feminisme. Pendekatan ini mengkaji sebuah kritikan atau tuntutan tentang penyetaraan jender yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sehingga dengan begitu masyarakat akan dapat menyetarakan hak dan kewajiban seorang perempuan dan laki-laki. Teori pendekatan Feminisme ada bermacam-macam pendekatan yakni, feminis liberal, feminisme radikal, feminis sosialis atau marxis, feminis postmoderenis, feminis kulit hitam dan non barat dengan intensitas pada ras dan kolonialisme (Ratna, 2005:228).
      Novel berjudul Nayla karya Djenar Maesa Ayu merupakan salah satu novel diantara buku-buku yang diciptakan Djenar yang kebanyakan mengusung hal-hal yang berhadapan dengan perempuan dan seks. Novel ini menceritakan mengenai kehidupan tokoh yang bernama “Nayla” adalah seorang perempuan yang hidup dalam trauma seksual. Masa kanak-kanaknya dilalui dengan peristiwa tidak menyenangkan, dari hukuman ibunya yang setiap kali Nayla mengompol alat vitalnya akan ditusuki peniti, diperkosa oleh pacar ibunya, di masukan ke rumah perawatan anak nakal dan narkotika oleh ibu tirinya, meski ia bukan pecandu namun ia tidak pernah merasakan dunia anak-anak. kebahagiann yang ia peroleh hanya sebentar saat ia tinggal bersama ayah kandungnya. 
     Penderitaan tersebut membuat Nayla menjadi perempuan yang  rapuh sekaligus mandir. Ia juga pernah hidup dijalan, memunguti sampah sisa makanan dan tidur dimanpun yang dapat melindunginya dari kerasnya alam dan dunia. Hingga pada akhirnya ia terdampar disebuah diskotek dan menjadi juru lampu. Di sana ia bertemu dengan Juli, perempuan yang kemudian menjadi pasangan lesbiannya. Setelah putus dari juli, Nayla menemukan sosok lelaki yang menurutnya tepat baginya bernama Ben, lalu kembali putus. Nayla memutuskan untuk menjadi penulis cerpen yang sudah ia gemari semenjak SMA dulu.
      Melalui novelnya tersebut Djenar mengungkapkan permasalahan yang terjadi pada perempuan bernama Nayla di dalam masyarakat metropolitan. Novel ini sangat cocok dengan pendekatan feminisme beraliran radikal karena aliran ini berfokus pada seks, gender, dan reproduksi sebagai fokus bagi perkembangan dari pemikiran feminis. Aliran ini cenderung androgini dengan menekankan pada semua jenis hubungan seks (heteroseksual, lesbian, dan otoerotik), memandang teknologi sebagi pembantu reproduksi, dan juga teknologi lama pengendali reproduksi sebagai anugerah mutlak bagi perempuan (Tong, 2006:3, dalam jurnal WAHANA, Volume 52, Nomer 1, Juni 2009). 
     Pendekatan feminisme ini dapat mengkaji tokoh wanita dalam sastra menurut perspektif ketimapangan kelas di masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai kelas tertindas yang pada novel ini juga sangat nampak jelas terlihat pada kehidupan tokoh utama Nayla yang mengalami pelecehan seksual sewaktu masa kanak-kanaknya. Perlakuan Ibu semasa kecilnya membuat Nayla membuat tokoh utama yang bernama Nayla tidak pantas diterima oleh perempuan sehingga ia menjadi wanita yang tangguh, namun dalam hati kecilnya ia merasa rapuh. 
       Pendekatan Feminisme dapat difungsikan untuk memperlihatkan perempuan sebagai bahan yang hanya menjadi pusat eksploitasi bagi laki-laki dalam hal biologis yang dimiliki perempuan. feminisme radikal hanya menyerang institusi-institusi keluaraga dan sistem patriarki yang dianggap sebagai sumber penindasan.  Fungsi tersebut kiranya menjadi kajian sehingga pada masa selanjutnya ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki dapat dihindari. Dengan begitu karya sastra dapat dijadikan pembelajaran untuk kehidupan yang lebih baik.

1.2 Rumusan Masalah
Dari permasalahan yang telah dijabarkan pada latar belakang di atas, peneliti merumuskan beberapa masalah yang akan di kaji lebih lanjut. Diantaranya adalah;
a) Apa yang mempengaruhi penggunaan Pendekatan Feminis Radikal terhadap novel “Nayla”?
b) Bagaimana implementasi feminisme radikal terhadap novel “Nayla”?


1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui suatu aliran feminisme yang bersifat radikal yang didalamnya menyatakan adanya ketidak setaraan gender, kebebasan seks dan alat reproduksi wanita. Pada dasarnya penelitian ditunjukan kepada penggunaan pendekatan feminis radikal pada sebuah novel berjudul “Nayla” karya Djenar Maesa Ayu yang di dalamnya banyak membahas pergolakan hasrat seks pada perempuan dan laki-laki. Dan mengetahui proses implementasi pendekatan dengan feminis radikal terhadap novel tersebut yang menggunakan kutipan sebagai bukti konkrit.

Bab II
Landasan Teori 

2.1 Landasan Teori
Feminisme merupakan salah satu cabang pendekatan karya sastra yang didasari dari pendekatan sosiologi sastra. Feminisme berasal dari kata ‘Famme’(woman)  yang berarti perempuan yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan sebagai kelas sosial. Tujuan Feminisme ialah kesimbangan interelasi gender yang berarti gerakan yang dilakukan oleh kaum perempuan  untuk menolak segala seuatu yang direnahkan oleh kebudayaan yan g dominan, baik dalam lataran politik, ekonomi, maupun dari kehidupan sosial lainya. Teori feminisme juga dapat diartikan penuntutan persamaan hak dan kewaiban antara kaum perempuan dan kaum lelaki.
      Dalam ilmu sastra,  Feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra  yang mengarahkan fokus analisis kepada perempuan. Kritik sastra feminis bukan berarti pengeritik perempuan atau kritik tentang perempuan, namun dalam arti sederhana yang di kandung oleh kritik feminis ialah pengkeritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, bahwa ada dua jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Perbedaan jenis kelamin pada penyair, pembaca, unsur karya dan faktor luar itulah  yang mempengaruhi situasi dalam sistem komunikasi sastra. (Endaswara, 2003:146)
      Feminis Radikal dirintis oleh Charlotte Perkins Gilman, Emma Goldman, dan Margareth Sanger termasuk feminisme periode pertama setelah feminisme liberal. Feinisme radikal menyatakan bahwa penindasan terhadap perempuan berasal dari penempatan perempuan pada kelas inferior dibandingkan dengan kelas laki-laki. Budaya patriarki menyebabkan kaum perempuan terpinggirkan (Humm, 2002:384, dalam jurnal WAHANA, Volume 52, Nomer 1, Juni 2009:2). Feminisme Radikal adalah suatu gerakan dimana perempuan menganggap dirinya tertindas karena dikuasai oleh laki-laki. Pandangan ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Sistem tersebut berpandangan mengenai  sebuah negara. Negara yang didominasi oleh kepentingan dan pengaruh kaum pria. Perempuan cenderung hanya sebatas warga negara sedangakan laki-laki memiliki kekuasaan dan sebagai pembuat kebjakan. Sehingga dalam hal ini ketidaketaraan terjadi antara kaum laki-laki- dan perempuan.
     Aliran ini menganggap bahwa tubuh perempuan merupakan objek yang menjadi kekuasaan laki-laki.  hal tersebut mempermasalahkan kepada tubuh biologisnya sehingga mereka memiliki hak-hak atas reproduksi perempuan yang perlu dijaganya. Oleh karena itu, feminisme radikal banyak menjadikan perempuan takut tertindas oleh kaum laki-laki dan lebih mementingkan alat reproduksinya sehingga hadirlah konsep lesbianisme (penyuka sesama perempuan).
    “Feminisme Lesbian sebagai aliran utama dalam feminisme radikal adalah praktik dan keyakinan bahwa komitmen erotis atau emosional terhadap perempuan adalah bagian dari perlawanan terhadap dominasi patriarkal” (Ritzer and Goodman, 2013:508) Hubungan seks antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai penindasan kepada perempuan. Hubungan itu pastii akan menimbulkan perbedaan peran dan kelas masyarakat.Feminis Radikal menganggap kehidupan lesbian dapat menjadi model dalam kehidupan yang adil dan setara.
     Feminisme radikal ada dua jenis yang diketahui berdasarkan pandangannya, a) feminis radikal-libertarian, dan b) feminis radikal-kultural. Feminis radikal-libertarian beragumentasi bahwa setiap orang diizinkan untuk androgini untuk menunjukan cakupan yang penuh dari kualitas maskulin dan feminin. Laki-laki harus diizinkan untuk mengekploitasi dimensi femininnya dan perempuan diizinkan untuk mengeksploitasi dimensi maskulinnya. Seharusnya, tidak ada satu manusiapun dilarang untuk mendapatkan rasa menjadi diri yang penuh, yang muncul dari penggabungan dimensi maskulin dan feminin (Tong, 2006: 4-5). 
     Feminis radikal-libertarian beranggapan bahwa tidak ada jenis pengalaman seksual yang spesifik. Setiap manusia didorong untuk bereksperimen secara seksual dengan dirinya sendiri, dengan perempuan lain, dan juga dengan laki-laki lain. betapapun  bahayanya heteroseksual bagi perempuan dalam masyarakat patriaki ataupun betapapun sulitnya bagi perempuan untuk mengetahui kapan ia benar-benar ingin menerima undangan seksual laki-laki, misalnya ia harus merasa bebas untuk mengikuti apapun hasrat dirinya itu (Tong, 2006: 4-5).  
    Sedangakan feminis radikal natural beragumentasi bahwa lebih baik menjadi perempuan atau feminin daripada menjadi laki-laki atau maskulin. Karena itu, perempuan tidak seharusnya mencoba menjadi laki-laki. ebaliknya, perempuan harusnya mencoba menjadi lebih seperti perempuan dan menekankan sifat-sifat yang secara kultural dihubungkan dengan perempuan dan meninggalkan penekanan atas nilai-nilai dan sifat-sifat yang secara kultural dihubungkan dengan laki-laki (Tong, 2006:70-71). Bagi feminis radikal-kultural, kunci pembebasan perempuan adalah dengan menghapuskan institusi patriakal seperti contohnya industri pornografi, keluarga, prostitusi dan heteroseksual).

Bab III
  Hasil dan Pembahasan

3.1 Hasil dan Pembahasan
3.1.1 Penggunaan Pendekatan Feminisme Radikal pada novel Nayla
Feminisme radikal yang berpusat pada perempuan yang mengalami ketidak setaraan, perlakuan semena-mena bahkan pengalaman yang tidak menyenangkan sebagai perempuan membuat tokoh dalam novel “Nayla” karya Djenar Maesa Ayu menjadi pemberontak dengan melanggar nilai-nilai konvensional dalam kehidupannya ketika ia menginjak dewasa. Pemberontakan tersebut dilakukan dengan menjadi biseksual. Novel yang menginterprentasikan relasi gender yang mengarah kepada perempuan yang superior dan perempuan yang melawan budaya patriarki yang terjadi.
     Tokoh dalam novel “Nayla” dianggap beraliran feminisme radikal karena Nayla menganggap bahwa laki-laki adalah sumber masalah dari hidup mereka. Hal itulah yang membuat  tokoh dari novel tersebut menentang penindasan secara keras atau radikal. Novel tersebut mempertanyakan noma-norma patriarki, bahkan menunjukan pemberontakan  dengan melanggar nilai konsvensional.  Nayla sebagai tokoh utama novel mendapatkan hal-hal yang tidak bisa ia hindari di masa mudanya, hal tersebut menjadikan ia menjadi perempuan yang biseksual. Hal tersebut disebabkan kasih sayang yang Juli berikan ketika ia bekerja menjadi juru lampu di diskotek. Juli yang penyuka sesama jenis atau lesbian memberikan rasa aman dan nyaman jauh berbeda dari yang ibu Nayla berikan semasa kecil dulu sehingga ia menganggap kasih sayang Juli adalah kasih sayang seorang ibu sekaligus ayah bagi Nayla. Ia menjadi pasangan lesbinya juga dikarenakan Nayla merasa tidak ada yang dirugikan dalam hubungan tersebut sama dengan pandangan feminis radikal yang mengangggap bahwa hubungan tersebut sama-sama mendapatkan kebahagiaan satu sama lain namun tidak akan merusak atau menyakiti salah satu dari mereka.
3. 1.2 Implementasi Feminisme Radikal pada Novel “Nayla”
Sebuah karya sastra tidak akan pernah jauh dari kritik sastra. Hal ini juga terjadi pada novel “Nayla” karya Djenar Maesa Ayu yang dapat dikaji melalui pendekatan feminis radikal. Pendekatan melalui teori Feminis-Radikal terkadang menjadi suatu hal yang jarang digunakan oleh para peneliti karena dianggap melanggar kebudayaan yang ada dan dapat merubah pandangan moral masyarakat terhadap kondisi sosial yang ada. Namun dengan pendekatan inilah perbedaan gender dapat dioptimalkan  sehingga tidak lagi ada perbedaan yag mempengaruhi ketimpangan antara pihak laki-laki dan perempuan. Wanita dan pria memang memiliki perbedaan namun wanita bukanlah suatu objek dari laki-laki. Dari novel ini, terdapat sistem patriarki yang sangat merugikan perempuan sehingga perlu mendapat perhatian khusus melalui pendekatan Feminisme Radikal.
Citra diri perempuan dengan pekerjaan
Pekerjaan perempuan merupakan sesuatu yang dianggap sebagai halangan seseorang untuk melakukan suatu yang bersifat maskulin. Namun pada novel Nayla itu idak seperti itu, perempuan sebagai pemilik jiwa feminis juga dapat bekerja layaknya seorang laki-laki, yang harus kuat dan tangguh. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

“Tidakah kamu lihat denan mata kealamu sendiri bagaimana aku bekerja membanting tulang? Aku ingin kamu kuat karena diluar sana kehidupan begitu bangsat” (Ayu, 2008:6-7)

Dari kutipan di atas, tokoh Ibu mengalami hal yang tidak harusnya ia dapakan karena ia harus berusaha sendiri untuk menghidupi anak seorang lelaki yang tidak bertanggung jawab. Tokoh ibu harus dapat menafkahi anaknya dengan jerih payahnya sendiri, bekerja keras dengan memiliki jiwa yang sekuat baja karena kehidupan tak seindah dugaanya.

Sekian lama aku berkorban. Sekian lama aku bertahan supaya tidak gila. Supaya bisa membesarkanmu dan mendidikmu dengan benar. Supaya bisa tetap kuat membanting tulang untuk memberi makan. Di saat ayahmu meninggalkan. Di saat ayahmu enak-enakkan. Di saat ayahmu seenak udel kawin dengan perempuan yang lebih cocok menjadi kakakmu.” (Ayu, 2008:154-155)

Dari kutipan di atas membuktikan sama dengan kutipan-kutipan sebelumnya, namun dengan adanya kutipan ini semakin memperjelas sosok ibu yang sangat kuat. Rasa kesakitan yang ia rasakan selama ini selalu menjadikan ia menjadi sosok yang ingin membuat anaknya demikian dan inginmenunjukan anaknya pada kehidupan yang sesungguhnya.

Perempuan dalam Sistem Patriarki
Dalam Feminis Radikal terdapat suatu konsep yang telah menjadi problemarika di dalam kehidupan bermasyarakat. Konsep itu adalah budaya patriarki. Budaya tersebut menjadikan seorang laki-laki dan perempuan memiliki hakikat yang berbeda namun pihak perempuan yang paling banyak dirugikan. Sebuah budaya yang di dalamnya perempuan hanyalah seorang warga negara sedangkan lelaki merupakan pemerintah yang memiliki wewenang dan kekuasaan. Wanita juga

Kamu tak akn pernah tahu, anakku, seberapa dalam ayahmu menyakiti hatiku”. Ia menyakiti kita dengan tidak mengakui janin yang kukandung adalah keturunannya. Ia meninggalkan kita begitu saja tanpa mengurus atau mendiskusikannya terlebih dulu masalah perceraian.” (Ayu, 2008:6)

Dalam kutipan diatas membuktikan tokoh “ayah” memiliki sikap yang tidak bertanggung jawab. Hal tersebut menggambarkan bahwa laki-laki yang telah beristri bisa saja tidak mengakui anak kandungnya meski sebeenarnya ia tahu janin tersebut merupakan anak kandungnya. Sikap tersebut sangat merugika pihak wanita karena harus melanjutkan hidup dengan membesarkan anaknya sendiri, sedangkan pihak laki-laki dengan wewenangnya dapat meninggalkan tanpa adanya rasa bersalah.

“Akan ada banyak laki-laki seperti ayahmu yang rela mencampakkanmu jika kamu  tak...” dan “..., ketimbang punya ayah yang tega meninggalkan  anaknya” (Ayu, 2008:8)

Dari kutipan di atas sangat mengungkapkan fakta yang ada di kehidupan masyarakat saat ini banyak terjadi. Banyak diantara laki-laki tidak yang  tidak mau mengakui hubungannya dengan meninggalkan perempuan begitu saja bahkan meninggalkan anaknya. Hal tersebut mengungkapkan bahwa konsep patriaki yang dilakukan oleh laki-laki menimbulkan suatu kekuasaan yang begitu tega meninggalkan hal yang tsebelumnya sangat berarti. Mereka menganggap perempuan hanya dapat melakukan tugasnya sebagi seorang perempuan dan selesai begitu saja. perempuan sangat dianggap rendah dan hanya difungsikan sebagai alat reproduksi saja.

Mitos ini juga menyebabkan perempuan tak kuasa memertahankan kesehatan alat kelaminnya sendiri. Laki-laki banyak yang menghindari pemakaian kondom dengan alasan, tidak enak karena terlalu licin. Akhirnya, tak hanya resiko terkena penyakit kelamin saja, tapi juga resiko kehamilan. Sementara, yang menanggung akibat kehamilan ini hanya perempuan. Bukan laki-laki.” (Ayu, 2008:80)

Dari kutipan di atas budaya patriarki sangat terasa karena sebagai seorang laki-laki hanya ingin merasakan kepuasan semata sedangkan perempuan menanggung akibat dari perbuatan yang didasari kekuasaan laki-laki tersebut. Perempuan menjadi lemah karena tidak bisa melakukan apapun oleh wewenang yang diciptakan oleh kaum laki-laki. bahkan perempuan hanya dapat menerima dengan pasrah, dan harus bisa survive dengan caranya sendiri sedangkan laki-laki tidak ikut menanggung segala akibat yang diterima oleh perempuan.

Ibu yang semakin kuat saja setelah putus dengan Om Indra. Ia tidak hanya menusuki saya dengan peniti setiap kali mendapati saya ngompol. Ia memukuli saya tanpa sebab yang bisa diterima oleh akal sehat. Karena Ibu berkuasa. Karena ibu kuat” (Ayu, 2008:112)

Dalam kutipan diatas, tokoh ibu tidak hanya menjadi ibu namun juga menjadi ayah bagi seorang anak bernama Nayla. Ibu yang memiliki fungsi ayah mengajari Nayla dengan keras untuk mendisiplinkan karakter anaknya. Ibu yang memiliki sikap seperti ayah itulah mengajarkan Nayla pada sistem patriarki bahwa wanita juga tidak kalh dengan laki-laki yang kuat dan harus berkuasa karena itulah yang ingin Ibu tanamkan dalam pikiran Nayla sehingga Nayla tidak lemah seperti perempuan pada umumnya. Kutipan tersebut sudah menciptakan sebuah gambaran bahwa laki-laki selalu identik dengan kekuasaan.

“Ayahmu yang bejat. Ini semua salahnya. Bukan aku! Jika ia tidak meninggalkan kita, Nayla, tidak akan ada nama Om Indra. Tidak akan ada nama siapapun! Demi Tuhan, Naayla. Sadarlah, ini semua salah ayahmu. Ayahmu. Ayahmu. Bukan aku!” (Ayu, 2008:156)

Kutipan di atas menunjukan bahwa adanya penekanan pada kutipan-kutipan sebelumnya. Ayah sebagai laki-laki yang tak bertanggung jawab menjadi sosok yang sulit diterima oleh kaum perumpuan. Perempuan hanya sebagai objek yang dalam tatananya mengalami kerugian karena sikap laki-laki yang berkuasa tanpa adanya pertanggung jawaban.

Saya takut mengatakan apa yang dilakukan Om Indra kepada saya. Padahal saya ingin mengatakan kalau Om Indra sering meremas...” (Ayu, 2008:113)

Dari kutipan di atas Nayla ketakutan untuk mengatakan pada ibunya apa yang dilakukan Om Indra kepadanya. Om Indra sebagai laki-laki menjadi seseorang yang memiliki kekuasaan utuk melakukan apapun terhadap wanita bahkan gadis kecil  untuk memenuhi hasrat yang tidak lagi bisa dibendung. Hal tersebut menunjukkan bahwa budaya patriarki di masyarakat sangatlah merugikan kaum perempuan.  Diperkuat oleh bukti lainya terdapat pada kutipan;

Ketika Ibu tidak ada di rumah, Om Indra tidak hanya mengeluarkan ataupun menggesek-gesekkan penisnya ke tengkuk saya. Ia memasukan penisnya itu ke dalam vagina saya. Supaya tidak ngompol, katanya. Saya diam saja.” (Ayu, 2008:113)

Perempuan yang hanya memiliki fungsi sebagai pemilik alat reproduksi membuat ia dijadikan sebagai objek dengan anggapan-anggapan yang telah ditentukan sebelumnya harus dimiliki perempuan sehingga perempuan tidak memiliki hak untuk disenangkan. Ketidak adilan ini terbukti pada kutipan berikut;

“Tubuh perempuan direpresi dan hany difungsikan sebagai alat reproduksi. Tubuh perempuan tidak diberi hak bersenang-senang atau disenangkan. Perempuan harus perawan. Perempuan harus menyusui. Perempuan harus pintar memuaskan laki-laki di ranjang. Perempuan hanya masyarakat nomor dua setelah laki-laki. Coba bayangkan, banyak sekali perempuan yang tidak tahu seperti apa sesungguhnya orgasme. Ini kn menyedihkan sekali?!” (Ayu, 2008: 117)

Kutipan di atas menunjukan sekalli bahwa kenyataan dalam masyarakat perempuan menjadi seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk berbuat apa yang ia inginkan sebagai prioritasnya, namun lebih mementingkan mitos-mitos yang ada dalam masyarakat.

Perempuan lebih banyak dilihat dari tubuh, sehingga perempuan menjadi sasaran empuk industri kecantikan, dan sebagainya. Kalau laki-laki dilihat dari kadar intelektualnya. Sehingga posisi mereka lebih kelihatan intelek ketimbang perempuan. Menyebalkan.”  (Ayu, 2008:122)

Dari kutipan di atas terlihat sekali ketidak adilan yang dialami oleh perempuan. Perempuan yang hanya dilihat dari bentuk tubuh tidak dapat memiliki kesempatan yang sama seperti yang laki-laki dapatkan. Itu semua dikarenakan budaya dan sistem patriarki masih ada. Laki-laki pemegang kekuasaan secara penuh, apa yang ia inginkan akan menjadi suatu hal yang nyata karena dalam masyarakatpun laki-laki dianggap sebagai seorang pemimpin sedangakan perempuanlah yang dipimpin. Perempuan hanya dinilai sebagai suatu yang sangat penting namun sikap penghargaan terhadap perempuan selalu sesuai dengan mitos yang diciptakan oleh masyarakat sendiri.

Aku tak butuh mereka. Lihat betapa banyak laki-laki yang takluk kepadaku. Lihat betapa mereka rela menyerahkan jiwa dan raganya hanya untukku. Kamu harus punya jiwa seperti aku.” (Ayu, 2008:8)

Dari kutipan di atas, apa yang dilakukan oleh ibu sangat jelas terlihat sebagai pandangan kaum feminisme terutama feminisme radikal. Bagaimana perempuan tidak dalam posisi inferior “dikuasai” tetapi bisa menjadi superior “menguasai”. Bagaimana agar tokoh perempuan menjadi sentral. Di mata Nayla, sang Ibu memang seorang perempuan yang kuat dan dengan mudah menaklikkan laki-laki. tapi disisi lain, Nayla dapat memetik hikmah dari kelemahan sang Ibu. Ketika berhubungan dengan Om Indra, Ibu menjadi lemah hingga tdak menyadari bahwa telah ditipu mentah-mentah oleh kekasihnya.
Perempuan dalam konsep lesbianisme
Semakin berkembangnya zaman, semakin beragam pula persoalan yang muncul. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah apabila tidak melahirkan ketidak adilan gender. Ketidak adilan ini biasanya terjadi ketika seorang perempuan hanya sebagai objek dari laki-laki. Ketidak adilan yang membuat perempuan menguranginya dengan cara yang sangat bertentangan dengan moral masyarakat. Lesbianisme menjadi jalan keluar bagi perempuan yang tidak ingin dirinya merasakan ketidak adilan ketika berhubungan dengan lawan jenisnya. Lesbian juga dapat terjadi karena kurangnya perhatian dan ras traumatik yang tinggi dari orang-orang yang berada disekitarnya seperti orang tua(ayah atau ibu). Perempuan yang sering kali menganggap bahwa dirinya hanya akan dirugikan oleh laki-laki yang menikmati setiap hubungan sedangkan perempuan tidak dapat seperti apa yang dirasakan pihak laki-laki.  Dalam novel “Nayla” juga terdapat fakta tersebut, dalam kutipan di bawah ini:
“Saya sudah memilih untuk menjadi lain karena hidup saya tak sama dengan mereka” (Ayu, 2008: 4)

Dari kutipan diatas, tokoh Nayla mengungkapkan bahwa dirinya sudah menjadi pribadi yang lain yang disebabkan oleh seseorang bernama Juli. Karena Julilah ia merasa ada sesuatu yang dicarinya selama ini. Terbukti dengan kutipan:

Saya mengucapkan terima kasih dengan suara lirih. Julli membalasnya dengan senyum hangat...” (Ayu, 2008: 4)

Dari kutipan tersebut tokoh Nayla mendapatkan rasa yang ia ingin dapatkan selama hidupnya, yakni perhatian yang ia ingin dapatkan sehingga adanya perlakuan yang ia harapkan merupakan hal yang membuat trauma di masa kecilnya terobati.

Saya memperhatikan Juli. Perawakan dan sikap juli tak ubahnya seorang laki-laki. Ia memang pecinta sesama jenis.” (Ayu, 2008: 4)

Dari kutipan di atas, tokoh Nayla menjelaskan bahwa juli merupakan seorang wanita yang memiliki jiwa feminis namun banyak memiliki perawakan tubuh dan sikap lebih ke arah maskulin atau laki-laki. Juli merupakan lesbian namun kelainan itu bukanlah faktor genetis.

Otak laki-laki memang kerdil. Segama bagi mereka hanya berkisar seputar kekuatan otot vagina” (Ayu), 2008:5)

Kutipan di atas merupakan pengakuan juli yang mengungkapkan ke tidak senangan pada laki-laki yang hanya ingin mendapatkan kepuasan seksual saja dari perempuan sedangkan perempuan hanya berusaha keras memberikan kepuasan tanpa mendapatkan kepuasan seperti pada kutipan.

Alhasil, perempuan melakukan apapun hanya untuk dinikmati tanpa diberi kesempatan untuk menikmati” (Ayu, 2008:79)

Hal tersebut membuktikan bahwa sebagai seorang perempuan sebenarnya juga ingin mendapatkan hak yang sama sehingga mereka juga mendapatkan keadilan dalam hubungan dengan pasangannya. Sehingga Juli dan Nayla memutuskan untuk menjadi pasangan yang tidak merugikan satu sama lain.

Tak pernah saya mencintai satupun laki-laki. Tidak sebagai ayah, tidak sebagai kekasih. Saya pernah mencintai perempuan. Mencintai ibu. Tapi sayangnya, ibu tidak pernah belajar mencintai saya. Ia lebih belajar mencintai keasih-kekaihnya, bersama Juli saya merasakan kehangatan kasih yang pernah ingin saya berikan kepada ibu.” (Ayu, 2008: 5) dan “Saya juga punya pacar. Bukan laki-laki, tapi perempuan. Yang laki-laki cuma hi and run. Mereka makhluk yang menyebalkan, sekaligus menggiurkan. Tapi urusan perasaan, saya lebih merasa nyaman dengan perempuan. Entah benar atau  salah saya menukan Ibu di dalam dirinya” (Ayu, 2008:54-55)

Dari kutipan diatas terlihat jelas bahwarasa traumatik yang dialami oleh Nayla menjadi penyebab ia menjadi lesbian, kurangnya perhatian yang ibunya berika sewaktu keci membuatnya dilingkupi perasaan yang membuat ia butuh rasa nyaman dari orang sekitarnya yang sekarang dan itu dapat diberikan oleh perempuan bernama Juli. Nayla merasakan kasih sayang yang diberikan Juli mengalahkan rasa yang pernah diberikan ibunya dulu.

Tapi saya tak ingin memberi cinta saya kepada orang–orang yang tak semestinya menerimanya. Lebih baik saya mencintai Juli ketimbang laki-laki yang hanya menginginkan selaput dara saya” (Ayu, 2008:6)

Dalam kutipan di atas juga menekankan perasaan Nayla yang hanya mencintai Juli sebagai pasangan lesbiannya. Hal ini membuktikan bahwa Nayla sebagai perempuan menganggap dirinya hanya akan dirugikan oleh laki-laki yang hanya menginginkan selaput dara Nayla, mungkin itu merupakan ketidak adilan yang dirasakan perempuan sehingga jalan yang dipilih oleh Nayla dan Juli adalah menjadi lesbian

Kebencian Juli terhadap laki-laki semakin menjadi-jadi ia benci dengan jiwa laki-laki yang mengalir dalam tubuhnya yang perempuan. Tapi Juli tak bisa membenci tubuh perempuannya karena ia mencintai tubuh perempuan. Juli benci dengan jiwa laki-laki yang mengalir dalam tubuh laki-laki. Tubuh yang tak pernah menjadi miliknya” (Ayu, 2008: 103)
Dalam kutipan di atas sedikit  menjelaskan alasan Juli membenci laki-laki. Setiap traumatik dalam hidup akan membuat seseorang menjadi pribadi yang lain, hal tersebut terjadi pada jiwwa Juli yang merasa bahwa ia memiliki jiwa laki-laki yang tak pernah ia bisa dapatkan. Juli merasa bahwa ia membenci dirinya dengan jiwa laki-laki yang dimiliki namun ia tetap mencintai bentuk tubuhnya yang perempuan.
Bab IV
Penutup
4.1 Simpulan
Feminisme merupakan salah satu pendekatan novel yang mengkaji mengenai tokoh wanita dalam sastra menurut perspektif ketimpangan kelas di masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai kelas tertindas. Perempuan yang tidak memiliki hak setara dengan laki-laki menjadikan perempuan sebagai kelas yang berada di bawah kekuasaan dari laki-laki. 
     Pada pendekatan Feminis Radikal, ketimpangan gender berpusat tidak hany pada gender dan kebebasan seks namun juga alat reproduksi perempuan yang hanya difungsikan sebagai alat. Selain itu dalam feminisme radikal sangat dikenal dengan budaya patriarki, yakni laki-laki sebagai pusat pemerintah yang memiliki wewenang dan kekuasaan sedangkan perempuah hanyalah warga negara yang harus mematuhi aturan yang telah ditetapkan. 
     Dalam feminis radikal juga dikenal dengan kebebasan seksual. Terdapat konsep biseksual yang merupakan seseorang yang dapat menyukai laki-laki maupun perempuan, namun lebih di fokuskan dengan hubungan lesbianisme. Dalam Novel “Nayla” karya Djenar Maesa Ayu juga dapat menggunakan pendekatan feminisme radikal. Dalam novel tersebut Nayla mengalami trauma seksual yang ia dapatkan dari kekasih ibunya dan penganiyayaan yang dilakukan ibunya membuat Nayla merasa kasih sayang yang harusnya diberikan ibunya dapat ia dapatkan dari perempuan bernama Juli yang merupakan lesbian. Sehingga membuat rasa sayang Nayla kepada Juli ada bentuk dari rasa sayangnya terhadap ibunya hingga menumbuhkan rasa cinta. Perilaku lesbian mereka dianggam memiliki nilai penting dalam pendekatan ini karena adanya kebebasan seks atau biasa disebut heteroseksual. 
     Dari aspek-aspek pendekatan melalui feminis radikal terlihat sekali bahwa trauma seksual dapat menjadi hal yang serius dan budaya patriarki yang akan selalu membuat perempuan menjadi gender yang dinomor duakan dan dianggap menjadi pihak yang tertindas.

Daftar Pustaka
Ayu, Djenar Maesa. 2008. Nayla. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Andini, Dewi. 2013. ‘Feminisme Sastra’ (Online), (http://andinijs.blogspot.in/2013/11/feminisme-sastra.html, diakses- 11 November 2013)
Pramujiono, Agung. Juni 2009.  Representasi Feminisme. (WAHANA, Volume 52, Nomer 1)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Fasilitas dalam Proses Pembelajaran

Analisis Unsur ekstrinsik Wacana pada novel Rantau 1 Muara bab Daster Macan

Permainan Tradisional