Analisis Teori Feminis-Marxis pada Novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi

ANALISIS TEORI FEMINIS-MARXIS NOVEL
‘PEREMPUAN DI TITIK NOL’
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas UAS Mata Kuliah Teori Sastra
Dosen Pengampu: Wachid Khoirul Ihwan, M.Pd

oleh :
Afinda Dahliyanti Putri
140621100017


Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Trunojoyo Madura
Tahun Akademik 2015

Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
       Pada hakikatnya sebuah karya sastra merupakan replika kehidupan nyata, meskipun terkadang berbentuk fiksi namun karya sastra tetap memiliki dasar yang dilihat dari aspek kehidupan sehari-hari. Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinatif yang menggambarkan sebuah kondisi sosial yang saat itu sedang terjadi, oleh karena itu karya sastra dapat hadir dalam kalangan masyarakat. Seorang pengarang mencoba mmenghasilkan suatu karya yang berasal dari pandangan dunianya tentang realitas sosial yang terjadi disekitarnya untuk menciptakan karya berdasarkan budaya dan kultur masyarakat tertentu. Pada dasarnya karya sastra merupakan media untuk menyuarakan pandangan seorang penulis tentang ilmu kemanusian dan kemasyarakatan.
      Pandangan ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi suatu gagasan, aspirasi, perasaan yang dapat mempersatukan kelompok sosial masyarakat. Dengan begitu karya sastra dapat dijadikan pembelajaran untuk kehidupan yang lebih baik dan tidak mengulang kondisi sosial yang sama di masa mendatang.
     Sastra dapat berbagai bentuk representasi budaya yang menggambarkan relasi dan rutinitas jender. Dari berbagai bentuk representasi budaya tersebut terbentuklah sebuah aliran pendekatan karya sastra Feminisme. Pendekatan ini mengkaji sebuah kritikan atau tuntutan tentang penyetaraan jender yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sehingga dengan begitu masyarakat akan dapat menyetarakan hak dan kewajiban seorang perempuan dan laki-laki. Teori pendekatan Feminisme ada bermacam-macam pendekatan yakni, feminis liberal, feminisme radikal, feminis sosialis atau marxis, feminis postmoderenis, feminis kulit hitam dan non barat dengan intensitas pada ras dan kolonialisme (Ratna, 2005:228).
      Berbagai macam aliran feminisme memiliki perbedaan. Salah satunya aliran feminisme marxis yang pendekatan sastranya mengerucut kepada kelas-kelas sosial dan perempuan yang menjadi kelas tertindas. Pendekatan ini salah satunya dapat diterapkan pada novel berjudul “Perempuan di Titik Nol” karya Nawal El-Saadawi yang di dalamnya menceritakan mengenai seorang perempuan yang mengalami penindasan terutama dalam hal pelecehan seksual yang tokoh utama lalui sejak kecil. 
      Kehidupan yang dialami semenjak kecil telah membuat Firdaus sebagai tokoh utama mengalami bebagai hal yang tak patut diterima oleh kaum hawa (perempuan), pendekatan feminisme ini dapat mengkaji tokoh wanita dalam sastra menurut perspektif ketimapangan kelas di masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai kelas tertindas yang pada novel ini juga sangat nampak jelas terlihat pada kehidupan tokoh utama yang ingin menempatkan dirinya sebagai perempuan setara dengan laki-laki, memiliki hak yang sama dan mendapatkan perlakuan yang sama. ‘Firdaus’ sebagai tokoh utama ingin di hargai oleh masyarakat terutama kaum laki-laki.  Pendekatan Feminisme dapat difungsikan untuk memperlihatkan kelas sosial perempuan pada saat itu sehingga pada masa selanjutnya ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki dapat dihindari.

1.2 Sinopsis Novel ‘Perempuan Di Titik Nol’
      Novel yang berjudul ‘Perempuan di Titik Nol’ karya Nawal El-Saadawi diadopsi dan ditulis dari penelitian Nawal saat mengunjungi penjara Qanatir, Mesir. Novel ini menceritakan salah satu wanita yang akan di hukum mati karena telah membunuh seseorang. Wanita itu bernama Firdaus. Firdaus menceritakan seluruh kisah hidupnya bahwa sejak kecil ia sudah mendapatkan siksaan fisik dan mental dari ayahnya yang tidak peduli dengan Firdaus dan keluarganya. Ibu kandungnya juga tak berbeda jauh dari ayahnya, ia pun tak peduli meski anak-anaknya kelaparan, ia hanya melayani suaminya. Bahkan saat itu hanya ayah dan ibu yang makan dengan lahab tanpa menyisahkan sedikitpun untuk anak-anak mereka. Firdaus yang lapar hanya melihat ayah dan ibunya makan kemudian tidur di tempat yang apa adanya. Dingin dirasakan Firdaus namun ia tak bisa melakukan apa-apa.
     Setelah ayah dan ibu Firdaus meninggal, ia pun tinggal bersama pamanya yang bersekolah di mesir. Paman Firdaus sangat baik, ia selalu mengajari Firdaus banyak hal dan menceritakan yang ia tau pada Firdaus. Namun pamanya juga tak berbeda dengan lelaki pada umumnya, ia selalu meraba-raba tubuh Firdaus yang saat itu masih belia. Firdaus hanya menganggap bahwa itu adalah sikap sayang dari pamanya. Firdaus pun mulai sekolah dan pamanya menikah dengan anak gurunya yang mengajar di mesir. Firdaus ikut pamanya pindah ke mesir dan sekolah, hingga akhirnya Firdaus lulus sekolah menengah dan karena istri paman Firdaus tak begitu suka dengan Firdaus dan tak bisa membiayai sekolah Firdaus karena tidak memiliki biaya, ia menyuruh paman Firdaus untuk menikahkanya dengan duda tua dan berbeda jauh dengan usia Firdaus yang saat itu masih 19 th.
      Dengan terpaksa, menikahlah Firdaus dengan duda tua bernama Syekh Mahmud yang dibilang orang mengerti agama. Syekh Mahmud ternyata seorang yang pelit dan temperamental, ia juga memiliki bisul di wajahnya dan baunya sangat busuk sehingga Firdaus harus membasuh seluruh badanya sambil berkomat kamit agar tidak menular ke badanya. Semakin lama Firdaus tau sifat Syekh yang sebenarnya suka ringan tangan sehingga Firdaus tak kuat dan melarikan diri ke rumah pamanya, namun pamanya menolak dan mengembalikan Firdaus ke rumah suaminya. Syekh Mahmud marah besar dan tak mau menerima Firdaus kembali. Firdaus pun meninggalkan  rumah suaminya sambil membawa ijazah sekolah menengah dan berjalan ke jalan raya yang penuh dengan orang-orang yang tak ia kenal sebelumnya. Firdaus akhirnya bertemu dengan pria yang bernama Bayoumi. Firdaus mengira bahwa Bayoumi ialah lelaki yang baik, karena mau menampung Firdaus dan mencarikannya pekerjaan untuk ijazah sekolah menengah Firdaus. Bayoumi menyuruh Firdaus tinggal di rumah hingga ia mendapatkan pekerjaan untuk Firdaus, namun karena lama Firdaus malu dan ingin pergi mencari pekerjaan sendiri, namun Bayoumi tidak memperbolehkannya. Pada suatu ketika Firdaus tidur, Bayoumi dan teman-temanya memaksa Firdaus untuk melayani mereka semua. Ternyata Firdaus baru sadar bahwa lelaki yang bernama Bayoumi sama saja dengan lelaki yang lainnya. Setelah kejadian itu ia pun menjadikan dirinya pelacur sebagai profesi.
        Firdaus pun bertemu dengan wanita yang bernama Sharifa El-Denie yang merupakan seorang germo. Firdaus pun semakin didukung untuk menjadi pelacur dan mengajari untuk menjadi wanita yang dihargai tinggi oleh para lelaki hidung belang. Firdaus menjadi pelacur atas kendali Sharifa. Banyak orang-orang yang berjabatan tinggi tak luput berlangganan pada Firdaus. setelah tau bahwa ia hanya di peralat oleh Sharifa ia pun melarikan diri dan tak sengaja bertemu dengan polisi yang juga menginginkan tubuhnya. Seorang polisi yang mengatas namakan kenaymanan rakyat dan berjanji membayar jika Firdaus mau memnuhi hasratnya.Dan pada masa selanjutnya dia sering kali diperlakukan tidak manusiawi oleh kaum laki-laki.
     Ahirnya dia memutuskan untuk bekerja dan disana keberadaannya sangat di hargai. Karena Firdaus tidak mudah terkena bujuk  rayu para atasannya. Hingga Firdaus benar-benar merasakan jatuh cinta pada rekan kerjanya. Namun disaat Firdaus mulai menemui kenyamanan yang seperti bersama teman kecilnya dulu semua itu harus berahir. Rekan kerjanya tersebut ternyata akan menikah dengan anak gadis presiden direktur. Firdaus kembali merasakan sakit yang teramat dalam karena disaat dirinya mulai jatuh cinta dia tidak akan bersama dengan orang yang dicintainya.
      Kebencian semakin merasuki hati Firdaus hingga dia bertemu dengan Marzouk seorang lelaki yang merendahkannya dan memaksa memenuhi hasratnya. Saat itu dia sangat merasa marah dan hendak mencari perlindungan kepada polisi. Namun ketika dia melaporkannya dia tak bisa berbuat apapun karena polisi memiliki hubungan yang baik dengan Marzouk daan ketika Firdaus meminta perlindungan hukum yang didapat hanyalah kekecewaan karena hukum meghukum orang-orang seperti Firdaus. Akan tetapi hukum tidak menghukum orang-orang seperti Marzouk. Percekcokan semakin seru karena Firdaus menolak tawaran Marzouk. Marzouk sendiri sebenarnya  adalah seorang germo yang memaksa Firdaus untuk menjadi pekerjanya. Keika Firdaus mencoba untuk keluar dari jeratan Marzok dia malah mendapat tamparan bertubi-tubi. Pada saat itu Marzouk membawa pisau yang digadang-gadangkan namun ahirnya pisau itu dirampas oleh Firdaus. Maka ketika itulah Firdaus melayangkan tusukan demi tusukan pada badan Marzouk tanpa ada rasa bersalah. Ahirnya dengan adanya kejadian itu Firdaus dihukum mati oleh polisi.

1.3 Landasan Teori
     Feminisme merupakan salah satu cabang pendekatan karya sastra yang didasari dari pendekatan sosiologi sastra. Feminisme berasal dari kata ‘Famme’(woman)  yang berarti perempuan yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan sebagai kelas sosial. Tujuan Feminisme ialah kesimbangan interelasi gender yang berarti gerakan yang dilakukan oleh kaum wanita untuk menolak segala seuatu yang direnahkan oleh kebudayaan yan g dominan, baik dalam lataran politik, ekonomi, maupun dari kehidupan sosial lainya. Teori feminisme juga dapat diartikan penuntutan persamaan hak dan kewaiban antara kaum wanita dan kaum lelaki.
      Dalam ilmu sastra,  Feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra  yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita. Kritik sastra feminis bukan berarti pengeritik wanita atau kritik tentang wanita, namun dalam arti sederhana yang di kandung okeh kritik feminis ialah pengkeritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, bahwa ada dua jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Perbedaan jenis kelamin pada penyair, pembaca, unsur karya dan faktor luar itulah  yang mempengaruhi situasi dalam sistem komunikasi sastra. (Endaswara, 2003:146)
       Dalam pendekatan feminisme salah satu aliran ialah Marxis. Teori Marxis pertama kali ditemukan oleh Karl Marx. Dalam pandangan Marxisme karya sastra dianggap sebagai salah satu bentuk suprastuktur masyarakat, yang keberadaannya tidak dapat dipisahkan dengan infrastuktur (basis material) yang mendasarinya. (wiyatmi:22) Dalam pendekatan ini menerangkan kritik sastra feminis-Marxis sebagai kritik yang meneliti tokoh-tokoh perempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Kelas sosial dapat tercipta berdasarkan hubugan kerja yang terbangun antara pemilik modal dan buruh sangat bertentangan dengan keadilan atau kesetaraan sosial. Kritik ini mencoba mengungkapkan bahwa perempuan merupakan kelas masyarakat yang  tertindas. Perempuan disamakan dengan kelas buruh (proletar) yang hanya memiliki modal tenaga dan tidak memiliki modaluang atau alat-alat produksi. Kaum wanita ditindas dan diperas tenaganya olehkaum laki-laki yang disamakan dengan pemilik modal dan alat-alat produksi(kaum borjuis).
      Beberapa aspek pendekatan feminisme-marxis dapat dijadikan faktor yang dengan dalam dapat membeberkan fakta ketimpangan yang terjadi antara wanita dan laki-laki. Aspek-aspek tersebut, pertama hubungan status pekerjaan perempuan dan citra diri perempuan. Adanya ekonomi marxis ketika suatu pekerjaan perempuan membentuk pemikiran dan sifat alamiah perempuan. Ada pula sosio marxis, yang pada dasarnya adanya sekat antara kaum proletar dan borjuis, dan perempuan yang menjadi kaum proletar (buruh), sedangkan laki-laki ialah kaum borjuis. Akibatnya menimbulkan kebencian, dan saat itulah eksistensi manusia akan kehilangan kesatuan dan keutuhannya dengan empat cara yaitu manusia teraliensi (pengasingan)  dari produk kerja, manusia teraliensi dari diri mereka sendiri, manusia teraliensi dengan masyarakat sekitar dan yang terakhir teraliensi dari alam. Ada juga politik marxis yakni kelas yang memberikan janji untuk membebaskan perempuan dari kekuatan yang mengoperasikanya. (Ariana, 2007:Online)

Bab II
Pembahasan

Pendekatan melalui teori Feminisme-Marxis terkadang menjadi suatu hal yang jarang di gunakan oleh peneliti sastra karena melanggar kebudayaan yang sudah ada, namun melalui pendekatan inilah perbedaan gender dapat dioptimalkan sehingga tidak lagi menuai kontrofersional yang membedakan antara kelas sosial dari gender. Wanita dan pria memang mimiliki perbedaan, namun wanita bukanlah sutu objek dari laki-laki. Dari novel ‘Perempuan di Titik Nol’ terdapat keimpangan yang sangat merugikan perempuan, sehingga novel ini perlu mendapat perhatian khusus melalui pendekatan Feminisme-Marxis.
2.1 Hubungan Pekerjaan Perempuan dan Citra diri Perempuan
Pekerjaan perempuan pada saat itu merupakan citra diri atau gambaran yang sudah membudaya di Mesir. Seorang perempuan yang pada hakikatnya melakukan sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan, membantu ibunya dan melakukan hal-hal yang sewajarnya dilakukan, perempuan tidak dapat mendapatkan apa yang di dapatkan lelaki.
"Saya ingin ke EI Azhar dan belajar seperti Paman." Kemudian ia tertawa dan menjelaskan bahwa EI Azhar hanya untuk kaum pria saja.”

Apakah saya akan menghabiskan hidup saya dengan mengumpulkan kotoran ternak,  menjunjung pupuk di atas kepala, membuat adonan tepung, dan memanggang roti?”
(Saadawi, 2003:22)

Pada Kutipan di atas, terlihat bahwa pada hakikatnya perempuan tak bisa melakukan hal yang dilakukan oleh laki-laki yakni bersekolah dengan tinggi hingga ke perguruan tinggi namun, seorang perempuan hanyalah seseorang yang mampu melakukan kegiatan seperti leluhur-leluhurnya yang berkecamuk di dapur, berternak dan mengolah apa yang ada di rumah.
Bukti yang lain terdapat pada kutipan:
Ketika saya bertambah besar sedikit, Ayah meletakkan mangkuk itu di tangan saya dan mengajari bagaimana cara membasuh kakinya dengan air. Sekarang saya telah menggantikan Ibu dan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukannya.” (Saadawi, 2003:25)

Pada Kutipan di atas ayahnya mengejarkan hakikat seorang perempuan ketika sudah bersuami ialah hanyalah menghormati suaminya dengan membasuh kaki sang suami. Hal tersebut berhubungan dengan citra seorang perempuan yang sudah membudaya sebagai bukti kepatuhan pada suami.

2.2 Feminisme Ekonomi  Marxis
Pekerjaan perempuan membentuk pemikiran perempuan dan karena itu membentuk juga sifat-sifat alamiah perempuan. Mereka percaya bahwa kapitalisme adalah suatu sistem hubungan kekuasaan yang eksploitatif (majikan memiliki kekuasaan yang lebih besar,  mengkoreksi pekerjaan untuk bekerja yang lebih keras. Perempuan tidak memiliki kekuatan yang selalu dianggap sebgai binatang, yang tidak mempuanyai perasaan dan hati ataupun keinginan lebih) dan hubungan pertukaran (bekerja untuk upah, hubungan yang diperjualbelikan).
SEJAK HARI ITU dan seterusnya saya tidak lag i menundukkan kepala atau mengalihkan pandangan saya. Saya berjalan melalui jalan raya dengan kepala tegak, dan mata diarahkan lurus ke depan. Saya memandang orang ke arah matanya,...” (Saadawi, 2003:98)

Dari kutipan diatas pekerjaan telah membentuk pemikiran yang pada dasarnya selalu dilakukan oleh perempuan. Seorang yang sudah percaya diri akan pekerjaan yang ia lakoni menghasilkan sesuatu yang besar, berharga dan menjadikanya terhormat meski kebenaranya ia tidaklah terhormat dalam pandangan moral.

Sepanjang hari ia tetap disamping sayadi rumah, atau di dapur, menunggui saya ketika sedang masak atau mecuci.Apabila saya menjatuhkan bubuk sabun dari bungkusnya dia akan melompat dan menggambil butirnya bahwa saya kurang hati-hati” (Saadawi, 2003:62-63).
Pada kutipan di atas terlihat jelas sang suami mengkoreksi pekerja istri yang sedang melakukan pekeraan rumah tangga seperti istri-istri pada umumnya, namun karena istri melakukan kesalahan membuat suami memarahi istrinya agar sang itri lebih berhati-hati lagi ketika melakukan pekerjaanya.

“Saya bicara dengan nada rendah, dan kedua mata saya dipusatkan ke arah tanah, tetapi dia berdiri dan menampar muka saya, sambil berkata, "Berani benar kau untuk bersuara keras jika bicara dengan aku, kau gelandangan, kau perernpuan murahan?" Tangannya besar dan kuat, dan itu adatah tarnparan yang paling keras yang pernah saya terima di muka saya.  Kepala saya terayun ke sisi yang satu kemudian ke sisilainya.” (Saadawi, 2003:71)

Pada kutipan di atas, perempuan hanya dihina seperti tidak memiliki perasaan dan hati, bahkan lelaki itu juga memberi penyiksaan fisik yang sangat tidak manusiawi.
“...“Pelacur, perempuan jalang.” Kemudian dia menghina ibu saya dengan kata-kata yang tak sanggup saya ikuti. Kemudian, ketika saya berusaha mengucapkannya, saya tidak sanggup.” (Saadawi, 2003:72)

Bukti kutiapan tersebut memperkuat bahwa saat itu laki-laki hanya merusak moral perempuan dengan memperkosanya. Tanpa tatanan moral ia menghina seorang perempuan yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Ia hanya menganggap perempuan seperti binatang yang bahkan ia perlakukan seenaknya dan tak memikirkan perasaan dan hatinya. Bukti lain ada pada kutipan saat Firdaus bertemu dengan seorang polisi:

...la berkata, “Saya akan membayar kau. Jangan mengira saya mau memakaimu dengan percuma. Saya bukannya seperti petugas polisi lainnya. Berapa kau minta?”
“Berapa yang saya minta? Tidak tahu.”
“jangan main-main dengan saya, dan juga jangan tawarmenawar, atau akan saya bawa kamu ke kantor polisi.”
“Mengapa? Saya tidak berbuat apa-apa.”
“Kau seorang pelacur, dan menjadi tugasku untuk menangkap kamu dan lain-lain yang sejenis denganmu. Untuk membersihkan negeri ini, dan melindungi kaum keluarga yang terhormat dari jenis kalian. Tetapi saya tidak suka mempergunakan kekerasan. Barangkali kita dengan diam-diam dapat mufakat tanpa pertengkaran. Aku akan memberimu satu pon, satu pon penuh. Apa jawabmu?”...” (Saadawi, 2003:89)

Kutipan diatas sudah sangat jelas bahwa kaum  yang memiliki kekuasaan dapat mengeksploitasi seseorang yang kala itu ingin meminta bantuan. Meski Firdaus seorang pelacur, namun sejujurnya ia ingin dihargai dan ingin membebaskan dirinya dari belenggu ketidakberdayaan, namun ia tak mampu melakukan itu semua.

Saya membuka mata, berdiri dari tempat tidur, mengenakan baju, dan kemudian menyandarkan kepala saya ke pintu sejenak, kepala yang lelah, sebelum meninggalkan rumah itu. Saya dengar suaranya berkata dari belakang: “Apalagi yang kau tunggu? Aku tak ada uang malam ini. Aku akan berikan kepadamu lain kali.” Saya pergi melalui jalan yang sempit. Hari masih malam dan udara sangat dingin. (Saadawi, 2003:90)

Kutipan diatas membuktikan tidak adanya kemanusiaan, karena setelah apa yang dilakukan oleh Firdaus, ia diperlakukan layaknya binatang yang tak memiliki perasaan, dan ia pun meninggalkan tanpa menuntut apapun karena ia takut dengan polisi.
"Saya bukan seorang pelacur. Tetapi sejak sernula, Ayah,
Paman, suami saya, mereka semua, mengajarkan untuk
menjadi dewasa sebagai pelacur.”
“Ia t a k pernah men gajariku untuk membunuh.la
membiarkan saya mempelajarinya sendiri sewaktu saya
menjalani kehidupan.
“Apakah hidup mengajarimu untuk membunuh?”
“Ya, tentu saja” “Dan apakah kau telah membunuh seseorang?”
“Ya, pernah.”
“Saya tak dapat percaya bahwa orang macam kau ini
dapat membunuh.” “Mengapa tidak?”
“Karena kau terlalu lembut.”
“Dan siapa bilang bahwa untuk membunuh tidak diperlukan sifat lembut?” (Saadawi, 2003:144-145)

Perempuan yang hakikatnya lembut dan tidak pernah bekerja sebagai pelacur, ia merasa dirinya diajarkan mulai dari kecil oleh orang-orang terdekatnya, ia juga tidak pernah diajari untuk membunuh, namun karena pekerjaan itu membentuk sebuah pemikiran yang serius sehingga merusak sifat alamiah perempuan.
Bukti bahwa terdapat pada kutipan:

Kemudian dia mendukung saya ke atas tempat tidur. Saya menutup mata ketika merasakan berat badannya menekan dada dan perut saya, dan jari-jari nya bergerak meraba tubuh saya.

Saya cepat bangun dan mengenakan baju serta sepatu saya, Ketika saya telah mengambil tas kecil saya dan bergerak menuju pintu, ia
mengulurkan tangannya dan menyelipkan uang kertas sepuluh pon di antara jari-jari saya.” (Saadawi, 2003:91)

Pada kutipan diatas terdapat bukti bahwa sebuah pekerjaan akan menghasilkan upah, meski ia diketahui telah menjual tubuhnya. Seorang pelacur yang dihargai mahal oleh seorang lelaki hidung belang. Sehingga terdapat korelasi hubungan antara pihak penjual dan pembeli.
Bukti yang lain juuga terdapat pada kutipan:
BERAPA TAHUNKAH DARI yang telah lalu dari kehidupan saya sebelum tubuh dan diri saya sendiri menjadi benarbenar milik saya, untuk memperlakukannya sebagaimana yang saya inginkan? Berapa tahunkah dari kehidupan saya telah hilang sebelum saya melepaskan tubuh dan diri saya sendiri menjauhi mereka yang memegang saya dalam genggaman mereka sejak hari pertama? Kini saya dapat menentukan makanan apa yang saya ingin makan, rumah mana yang saya lebih suka tempati, menolak laki-Iaki yang menimbulkan rasa enggan, apa pun dlasannya, dan memilih laki-Iaki yang saya inginkan, sekalipun hanyalah karena dia itu bersih dan kukunya terawat baik.” (Saadawi, 2003:99)

Kutipan diatas juga merupakan bukti bahwa sesuatu hal dapat dinikmati sebagai ganjaran apa yang telah dikerjakanya oleh seseorang yang menjual sesuatu sehingga menghasilkan hal yang dapat dinikmati sebagai upah dari pekerjaanya.
"Bagaimanapun juga kau harus membayar saya seperti yang lain. Waktu yang kau dapat habiskan denganku sudah ditentukan, dan setiap menit dihitung dengan uang." (Saadawi, 2003:101)

Dari kutipan diatas bahwa sebuah pekerjaan perempuan untuk menghasilkan upah yang berdasarkan jual beli yang terjadi antara penjual jasa dan pembeli.

Saya merasa kasihan kepada gadis-gadis lainnya yang begitu polosnya untuk menyediakan tubuh dan upaya fisik mereka setiap malam untuk memperoleh imbalan makan, atau untuk mendapatkan laporan tahunan yang baik, atau hanya untuk memperoleh kepastian bahwa mereka tidak akan diperlakukan semena-mena, mengalami diskriminasi, atau dipindahkan. (Saadawi, 2003:110)

Dari kutipan diatas, dahulu banyak sekali gadis-gadis yang bekerja di pabrik. Dengan upah yang minimum mereka menjual tubuh sehingga mendapatkan perlakuan yang baik oleh para atasan yang haus akan tindakan yang hina itu.
Bukti juga terdapat dalam kutipan di bawah ini:
Saya akan bayar berapa pun yang kau minta”
“Tidak” saya ulangi lagi. "Percayalah kepadaku, saya akan membayarmu  berapa saja kau minta.” “Kau tidak dapat membayar hargaku, terlalu tinggi” (Saadawi, 2003: 142)

Dari kutipan diatas, jelas terlihas sebuah transaksi akan terjadi. Sang lelaki, anggap saja ia seorang penguasa yang ingin membayar berapapun yang diminta oleh perempuan, dan di upahi berapapun, namun Firdaus tidak mau direndahkan lagi sehingga ia sangat jual mahal akan tubuhnya.

2.3 Feminisme Sosial Marxis
Bedasarkan teori sosiologi atau kemasyarakatan, marxis mengemukakan bahwa kapitalis menciptakan adanya dua kelompok kelas kemasyarakatan. Perempuan merupakan kelas bawah yang termasuk kaum proletar (buruh), dan laki-laki merupakan kelas atas yang merupakan kaum borjuis (pemilik modal). Perempuan yang tidak memiliki modal namun dipaksa untuk bekerja dan memuaskan pemilik modal (borjuis). Perempuan hanya dijadikan pemuas lelaki saja yang tidak memiliki hak untuk menolak karena ia hanyalah pekerja. menggambarkan dengan jelas penderitaan perempuan atas pelecehan seksual yangdilakukan oleh laki-laki.
Galabeya saya acapkali menggelosor sehingga paha saya terbuka, tetapi tidak saya perhatikan, sampa! pada suatu saat saya melihat tangan paman saya pelan-pelan bergerak dari balik buku yang sedang ia baca menyentuh kaki saya. Saat berikutnya saya dapat merasakan tangan itu menjelajahi kaki saya sampai paha dengan gerakan yang gemetaran dan sangat berhati- hati. Setiap kali terdengar suara langkah kaki orang di pintu rumah kami, tangannya akan segera ditarik kembali.” (Saadawi, 2003:20)

Dari kutipan diatas Firdaus telah mendapatkan pelecehan seksual sejak ia masih kecil dan belum mengerti apa-apa dari  pamanya. Bahkan Firdaus membiarkan saja, dan rupanya hal itu sangat sering dilakukan pamanya.
Bukti lain dari kutipan:

suara isterinya manakala kembali memprotes:
“Tidak yang mulia, demi Nabi. Tidak, ini hawa nafsu.”
Kemudian nada suaminya yang tertahan kembali mendesis:
“Kau perempuan, kau ... Nafsu apa, dan apa Nabi? Aku adalah suamimu dan kau adalah isteriku.”...” (Saadawi, 2003:55)

Dari kutipan di atas, sang sejujurnya menolah apa yang dilakukan oleh suaminya namun apa daya seorang perempuan hanyalah seorang yang harus menurut pada suami apapun dan kapanpun meskipun sang istri tak siap karena berbagai alasan.
Bukti lain terdapat dalam kutipan:
“...“Kau seorang pelacur, dan menjadi tugasku untuk menangkap kamu dan lain-lain yang sejenis denganmu. Untuk membersihkan negeri ini, dan melindungi kaum keluarga yang terhormat dari jenis kalian. Tetapi saya tidak suka mempergunakan kekerasan. Barangkali kita dengan diam-diam dapat mufakat tanpa pertengkaran. Aku akan memberimu satu pon, satu pon penuh. Apa jawabmu?” Saya mencoba untuk melepaskan diri darinya, tetapi dia memegang lengan saya dengan eratnya, dan mulai membawa saya dari tempat kami berdiri....” (Saadawi, 2003:

Dari kutipan diatas, kaum borjuis hanya ingin mendapatkan apa yang ia inginkan, bahkan ia mengancam seseorang yang tidak berdaya sebagai seseorang yang tak bisa melakukan apapun untuk melindungi dirinya.

"Kau pegawai hina dan miskin, yang tak ada harganya, berlari mengejar bis untuk menaikinya. Saya akan membawamu dalam mobil saya karena tubuh kewanitaanmu telah menimbulkan berahi. Suatu kehormatan bagimu untuk diingini seorang pejabat berpangkat yang terhormat seperti saya ini. Dan siapa tahu, barangkali kelak di suatu hari, saya dapat membantumu untuk naik gaji lebih dulu dari yang lainnya."(Saadawi, 2003:108)

Dari kutipan di atas terlihat sekali penghinaan dari kaum Borjouis kepada kaum proletar. Penghinaan yang di pikirkan oleh seseorang yang memiliki kekayaan yang hanya melihat seorang wanita sebagai pemuas nafsu saja sehingga ia dapat menaikan gaji dari apa yang telah ia minta dari perempuan itu sebagai imbalan
Dan siapa bilang bahwa ada orang yang bukan budak orang lain? Hanya ada dua golongan orang, Firdaus, majikan dan budak.”
“Kalau begitu saya ingin menjadi salah seorang majikan dan bukan menjadi salah seorang budak.”
“Bagaimana kau dapat menjadi salah seorang majikan? Seorang perempuan yang hidup sendiri tidak bisa menjadi majikan, apalagi seorang perempuan yang menjadi pelacur. Tidakkah kau sadari bahwa kau menginginkan sesuatu yang tidak mungkin?” (Saadawi, 2003:138-139)

Dari kutipan diatas sudah jelas bahwa seseorang telah menganggap bahwa kehidupan dibedakan dengan kelas sosial adanyanya kaum Borjuis (majikan) dan proletar (buruh). Dan jelas sekali bahwa perempuan dijadikan pemuas nafsu yang bekerja untuk kaum borjuis.

Allen Wood dalam bukunya Karl Marx mengungkapkan pembagian kelas dapat menimbulkan kebencian dan sifat yang tersegmentasi serta terspesialisasi dari proses kerja, diman eksistensi manusia akan kehialangan kesatuan dan keutuhannya dengan empat cara yaitu manusia teraliensi (terasingkan) dari produk kerja, teraliensi dari diri mereka sendiri, teraliensi dengan masyarakat dan terakhir teraliensi oleh alam. Namun dalam novel ‘Perempuan di Titik Nol’ hanya ada dua cara teraliensi, yakni teraliensi atau terkekang oleh dirinya sendiri dan teraliensi dengan mayarakat.
Teraliensi dengan dirinya sendiri
Seseorang tidak akan mampu mengenali dirinya seutuhnya sebagai kesatuan pada dirinya. ia seolah tidak mengenali sosok yang berada dalam dirinya.
Saya tidak memalingkan muka atau hidung saya kali ini. Saya menyerahkan muka saya ke m ukanya dan tubuh saya kepada tubuhnya, pasif tanpa perlawanan, tanpa suatu gerakan, seperti telah tidak bernyawa, seperti batang kayu mati atau seperti meubel tua yang sudah tidak dihiraukan, tertinggal di tempatnya berdiri, atau seperti sepasang sepatu yang terlupakan di bawah sebuah kursi.” (Saadawi, 2003:64)

Pada kutipan di atas tokoh Firdaus merasa dirinya terasingkan oleh dirinya sendiri. Karena sejujurnya Firdaus tak mau melayaninya, ia tak mau mengenal dirinya yang sekarang karena semua yang ia lakukan hanya dari unsur keterpaksaan saja.

Tubuh saya tersentuh rasa nikmat yang tidak jelas atau oleh perasaan sakit yang sebenarnya bukan rasa sakit tetapi rasa n ikmat, dengan rasa nikmat yang saya belum tahu sebelumnya, yang pernah hidup di kehidupan lain, yang bukan kehidupan saya, atau yang ada dalam tubuh lain, yang bukan tubuh saya.” (Saadawi, 2003: 69)

Dari kutipan di atas Firdaus tidak bisa menemukan siapa dirinya yang sebenarnya karena dia sedang tersesat oleh kehidupanya ynag tidak ia mengerti sebelumnya. Hidup yang ia jalani seperti bukan dirinya sendiri.

Teraliensi dengan kehidupan sosialnya (masyarakatnya)
Seseorang yang dikekang untuk dapat hidup di dunia sosial. Ia tidak memiliki hak untuk mendapatkan kebebasan sebagai manusia yang membutuhkan orang lain. Namun dapat dikatakan juga bahwa  seseorang terkekang dalam masyarakat, apabila masyarakat tidak menganggap keberadaan seorang manusia.
“Dia lalu mengurung saya sebelum pergi. Sekarang saya tidur di lantai di kamar lain.” (Saadawi, 2003:72)

Pada kutipan diatas, dapat membuktikan bahwa seseorang telah terasingkan oleh kehidupan seperti biasa atau bisa juga masyarakat karena dikurung dalam suatu tempat yang membatasinya berhubungan dengan masyarakat.
Bukti lainya terdapat pada kutipan:
“Di sini saya, bagaikan sebutir batu yang dilemparkan orang ke dalam air meluncur bersama kerumunan orang banyak di dalam bis dan mobil, atau berjalan kaki di jalanan, dengan mata yang tak melihat, tak mampu untuk memperhatikan sesuatu atau seseorang. Tiap menit seribu mata berlalu di hadapan saya, tetapi bagi mereka saya tetap tidak ada.” (Saadawi, 2003:59)

 Pada kutipan di atas, tokoh Firdaus merasa dirinya terasingkan oleh masyarakat karena ia hanya merasa masyarakat melihat firdaus namun mereka tak mau peduli dan menganggapnya ada. bukti itu diperkuat lagi oleh kutipan:

Saya berjalan-jalan di jalan raya dengan mala yang bengkak, muka memar, tetapi tak seorang pun yang memperhatikan saya. Orang-orang bergegas di sekeliling dalam bis dan mobil, atau berjalan kaki. Seakan-akan mereka itu buta, tak sanggup melihat sesuatu.” (Saadawi, 2003:64-65)

Kutipan tersebut makin membuktikan bahwa saat itu Firdaus sangat terasingkan oleh masyarakat. Karena dia merasa dia berada dalam masyarakat namun tak seorangpun yang mau memperhatikan sehingga seoalah dia merasa sendiri.
MEREKA MENGENAKAN BORGOl baja pada pergelangan tangan saya, dan membawa saya ke penjara. Dalam penjara mereka memasukkan saya ke dalam sebuah kamar yang pintu dan jendelanya selalu ditutup. Saya tahu apa sebabnya mereka itu begitu takutnya kepada saya.” (Saadawi, 2003:147)

Dari bukti diatas Firdaus berfikir mengapa seseorang pembunuh sepertinya berbahaya da harus dikurung dalam sebuah tempat yang tidak memiliki jenela dan dipisahkan dai orang-orang banyak, padahal banyak orang yang lebih buruk dari pada dirinya. Ia diasingkan (teraliensi) dari kehidupan yang biasa ia lakukan sehari-hari.

2.4 Feminisme Politik Marxis
Teori politik marxis juga menawarkan suatu analisis kelas yang memberikan janji untuk membebaskan perempuan dari kekuatan yang mengoprasikanya. Marx berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki dapat bersama-sama membangun struktur sosial dan peran sosial yang memungkinkan kedua gender untuk merealisasikan potensi kemanusiaannya secara penuh.
Kedua tangannya tidak mengesankan sebagai tangan-tangan seseorang yang dapat berbuat ganas atau kejam. Dia berkata, bahwa dia tinggal di dua kamar dan bahwa saya dapat tinggal di sebuah kamar sampai saya memperoleh pekerjaan.” (Saadawi, 2003:67)
Bayoumi memiliki dua buah kamar dalam flat di sebuah gang yang sempit. Memiliki pemandangan ke bawah ke arah pasar ikan. Saya harus menyapu dan membersihkan kamar-kamar itu, membeli ikan dari pasar di bawah rumah kami, atau seekor kelinci, atau daging dan memasak untuknya. Dia bekerja sepanjang hari di warung kopi tanpa makan, dan apabila dia pulang pada petang harinya, dia akan makan dengan lahap, dan kemudian pergi tidur di kamarnya. Saya biasa tidur di kamar sebelah, di lantai, di atas sebuah kasur.” (Saadawi, 2003:68)

Pada kutipan di atas, terlihat jelas bahwa perbedaan gender antara perempuan dan laki-laki dapat hidup berdampingan tanpa ada unsur kekerasan di dalamnya, dari kekerasan fisik ataupun batin. Sehingga pada hakikatnya seorang perempuan dan laki-laki dapat membangun struktur dan peran sosial selayaknya manusia pada umumnya.

Bab III
Penutup
3.1 Simpulan
  Feminisme merupakan salah satu pendekatan novel yang mengkaji mengenai tokoh wanita dalam sastra menurut perspektif ketimpangan kelas di masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai kelas tertindas. Perempuan yang tidak memiliki hak setara dengan laki-laki menjadikan perempuan sebagai kelas yang berada di bawah kekuasaan dari laki-laki. Pada pendekatan marxis, kajian feminisme lebih diperinci menjadi kelas-kelas sosial sehingga perempuan hanyalah kaum proletar (buruh) sedangkan laki-laki sebagai kaum borjouis (pemilik modal/penguasa). Pendekatan ini sangat terlihat pada novel karya Nawal El-Saadawi yang berjudul ‘Perempuan di Titik Nol’.
    Novel ini menceritakan Firdaus, sang tokoh utama perempuan yang semenjak kecil sudah mendapatkan siksaan hingga ia dewasa dan selalu mendapatkan kekerasan, tak memiliki hak sebagai perempuan, dan berkali-kali mendapatkan penindasan dari kaum laki-laki sehingga sesuai dengan pendekatan feminis marxis. Feminis marxis meneliti mengenai ketimpangan gender dengan mengutamakan kelas-kelas sosial antara laki-laki dan perempuan, beberapa aspek yang dapat dikaji lebih dalam yakni, pekerjaan perempuan yang melatar belakangi citra dari seorang perempuan, ekonomi marxis, sosio marxis, dan politik marxis. Dari keempat aspek pendekatan tersebut pendekatan feminisme marxis dapat terlihat jelas bahwa seorang perempuan memiliki kelas dibawah laki-laki dan perempuan selalu menjadi kelas yang tertindas.


Daftar Pustaka

El-Saadawi, Nawal. 2003. Perempuan di Titik Nol. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Ariana. 2007. ‘Teori Feminis Marxis – Sosialis’ (Online),
(http://ariana.wordpress.com/2007/06/04/teori-feminis-marxis-sosialis.html,- diakses 4 juni 2007)
Andini, Dewi. 2013. ‘Feminisme Sastra’ (Online),
(http://andinijs.blogspot.in/2013/11/feminisme-sastra.html, diakses-          
11 November 2013)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Fasilitas dalam Proses Pembelajaran

Analisis Unsur ekstrinsik Wacana pada novel Rantau 1 Muara bab Daster Macan

Permainan Tradisional