Esai: Tragisnya Dunia Pendidikan


Oleh: Afinda Dahliyanti Putri
        Kemarin masih terlihat jelas berbondong-bondong buruh melakukan aksi demonstrasi menuntuk hak yang pasti sebagai seorang buruh, namun hari ini bisa menjadi hari aksi besar-besaran para pejuang negeri yang menuntun hak pendidikan yang pasti untuk anak dan pencinta pendidikan. Bagaimana tidak? Tepat tanggal 2 Mei merupakan hari kebesaran yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat yang mengingat momen ini sebagai hari yang wajib diingat  oleh seluruh masyarakat Bangsa Indonesia. Hardiknas mungkin hanya masuk topik kedua yang dibahas di kala buruh masih dengan aksi menuntut hak-haknya sehingga menjadi topik utama di stasiun tivi.
      Hardiknas sendiri awalnya merupakan satu momen yang diambil untuk memperingati hari lahirnya pejuang pendidikan yang dengan tekat dan tujuan mulianya menjadikan bangsa ini cerdas melalui pendidikan. Ya, siapa lagi kalau bukan Ki Hajar Dewantara. Bagi sebagian masyarakat, mungkin akan selalu ingat dengan semboyannya yang berbunyi, “Ing Ngarso Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” apalagi kita, calon pendidik generasi masa depan pastinya sudah sangat hafal betul bahkan makna yang terkandung dalam semboyan tersebut.
       Peringatan hari pendidikan nasional harusnya menjadi momen indah dan sakral bagi para pejuang pendidikan. Tidak Hanya bagi calon pendidik, peserta didik, guru, maupun segala bidang masyarakat yang sadar akan pentingnya pendidikan. Peringatan tersebut biasanya ditandai dengan maraknya upacara bendera di berbagai kalangan, seperti sekolah dan kampus.
          Tahun ini, peringatan hari pendidikan nasional mungkin menjadi peringatan yang berbeda di banding tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun-tahun sebelumnya, tuntutan masyarakat di hari pendidikan nasional yakni pemerataan pendidikan, kekerasan pada pendidikan, kualitas pendidik, serta sarana dan prasarana pendidikan yang menjadi topik utama perbincangan. Namun pada tahun ini yang sedang marak diperbincangkan adalah kasus kekerasan seksual pada anak. Bagaimana bisa pada bulan pendidikan dan kebudayaan, dunia  pendidikan di tampar dengan maraknya kasus tersebut. Apalagi kasus Yuyus, seorang pelajar yang meninggal karena diperkosa oleh 14 laki-laki dalam perjalanan menuju sekolahnya yang berjarak cukup jauh. Sadis bukan? 1 perempuan dan 14 laki-laki, sudah sama persis dengan sebuah judul buku kumpulan cerpen yang ditulis oleh Ayu Utami. Yang mengejutkan lagi salah satu laki-laki tersebut ada yang masih duduk di bangku sekolah.
        Kasus seperti ini mungkin sudah sering terjadi di masyarakat, tapi bukankah kasus kali ini sangat mencoreng dunia pendidikan. Pemberitaan yang hampir sama juga terjadi di Surabaya, namun kali ini lebih mengejutkan lagi, kekerasan seksual dilakukan oleh anak di bawah umur terhadap anak yang juga masih dibawah umur, apalagai hal tersebut sudah terjadi selama 9 tahun lamanya. Sangat menyedihkan dan miris!  Hanya kata itu yang pantas untuk kasus tersebut. Kekerasan seksual yang terjadi pada anak di bawah umur oleh pelaku yang tidak bertanggung jawab menjadi ancaman khusus yang sangat serius bagi anak-anak.
         Pada tanggal 2 Mei 2016, tepat pada saat peringatan Hari Pendidikan Nasional, Anies Baswedan yang merupakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia memberikan pidatonya mengenai hardiknas. Dalam pidatonya, Anies mengungkapkan ada beberpa hal penting yang harus menjadi wajah pendidikan baru di Indonesia, yaitu ada tiga komponen yang di butuhkan anak-anak di abad 21 ini. Pertama, adalah kualitas karakter, karakter itu sendiri ada dua macamnya, karakter moral antara lain nilai pancasila, keimanan, ketaqwaan, integritas, kejujuran, keadilan, empati, welas asih, sopan santun dan karakter kerja antara lain kerja keras, ulet, rasa ingin tahu, inisiatif, gigih, kemampuan beradaptasi maupun sifat kepemimpinan. Kedua, kemampuan literasi dan yang ketiga adalah kompetensi. Berdasarkan ketiga komponen yang di sebutkan menteri pendidikan dan kebudayaan tersebut, diharapkan bahwa anak-anak di abad 21 ini adalah anak-anak yang memiliki 3 komponen kemampuan yang dapat membantu anak-anak negeri maju ke arah yang lebih baik. Kualitas karakter menjadi hal yang sangat penting dalam sebuah pendidikan. Jika membicarakan mengenai karakter dalam pendidikan, sejak tahun 2013 pendidikan berkarakter sudah menjadi ketetapan untuk landasan terbentuknya pendidikan di nusantara. Pertanyaannya adalah, apakah pendidikan karakter hanya  diberlakukan di sekolah saja? TIDAK!
           Lalu, siapa yang harus di salahkan jika sudah seperti ini? Teknologi? Sekolah? Keluarga? Atau kita, sebagai anggota masyarakatnya? Alhasil semua serba membingungkan. Pendidikan karakter yang berisi nilai dan moral sesungguhnya adalah tanggung jawab kita semua sebagai anggota masyarakat, baik dari keluarga, lingkungan masyarakat, maupun sekolah. Anak-anak yang menjadi pelaku dan korban dalam kasus kekerasan seksual tetap saja adalah korban dari kita semua. Bagaimana tidak, kita sebagai orang yang lebih tua dari anak sudah seharusnya menjadi contoh seperti semboyan Ki Hajar Dewantara, Ing Ngarso sung Tulada  yang memiliki arti “yang depan memberi teladan”. Anak-anak semenjak kecil haruslah sudah dibekali dengan pendidikan karakter yang dapat dibangun oleh keluarga. Namun, semua akan percuma jika lingkungan yang berada di sekitar anak tidak seperti yang di tanamkan keluarga. Mereka hanya mencoba untuk menirukan apa yang mereka lihat sedangkan kita sebagai orang yang menjadi tauladan lupa bahwa mereka membutuhkan perhatian ekstra dalam proses pembentukan menjadi manusia yang seutuhnya.
        Perhatian dan kontrol para orang tua sangatlah di butuhkan untuk membimbing anak ke arah yang dapat membentuk karakter yang baik, sesuai dengan norma yang ada dalam masyarakat. Teknologi yang semakin berkembang di era globlalisasi ini menjadi satu alasan tersendiri karena di era ini segala sesuatu sangat mudah untuk di dapatkan. Kita tidak bisa membatasi anak, namun dengan cara membimbing dan pengarahan yang baik, anak akan mengerti bahwa negara kita memiliki aturan, moral, nilai yang sudah sejak dulu masih dipertahankan sebagai identitas bangsa.

nb: Esai ini aku publikasikan dalam buletin bulanan LPM SINAR kira-kia beberapa bulan yang lalu, temanya Hari Pendidikan Nasional deh. hehe ini hanya sekedar unek-unek saja sih mengenai pendidikan yang saat itu terjadi. Semoga bermanfaat! :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Fasilitas dalam Proses Pembelajaran

Analisis Unsur ekstrinsik Wacana pada novel Rantau 1 Muara bab Daster Macan

Permainan Tradisional