MENJEMPUT MIMPI


Karya: Afinda Dahliyanti Putri


            Seperti pepatah yang mengatakan buah tak jauh dari pohonnya, begitulah nasip yang ditentukan oleh orang tua seorang gadis bernama Firza. Orang tuanya yang berlatar belakang keluarga dokter menjadi landasan Papa dan Mamanya menjadikan Firza seorang dokter pula. Namun sangat disayangkan, Firza adalah gadis yang lebih mencintai olahraga dan seni dibanding dengan menjadi seorang dokter. Ia mencintai kedua bidang tersebut semenjak ia mulai mengikuti sebuah ekstrakulikuler di sekolahnya dulu. Bahkan Firza pernah melewatkan les nya demi mengikuti latihan tari untuk perlombaan antar sekolah, tentu saja orang tuanya tak pernah tahu akan hal tersebut karena Ia tau pasti karakter Mamanya, apalagi Papanya yang tak segan-segan menghajarnya karena tidak mematuhi perintahnya.
Firza adalah gadis yang memiliki tingkat kognitif di atas rata-rata, Ia bahkan bisa mengerjakan sebuah soal matematika dan fisika meski tanpa penjelasan dari tutor atau guru, cara belajarnya autodidak.
“Firza, bukannya hari kamu les?” Tanya Mama di luar pintu kamar Firza. Firza yang sedang berlatih tarian tradisional dari laptopnya yang sengaja ia putar dengan folume rendah terkejut.
“Ah, Firza capek ma.. pengen istirahat saja hari ini” Jawab Firza bergegas mematikan video tarian tradisional dan langsung melompat ke kasur empuknya, bersembunyi di balik selimut.
“Firza.. ini demi kebaikan kamu, bentar lagi kamu kan ujian masuk perguruan tinggi” Ajak mama lembut, tak lama kemudian membuka pintu kamar Firza perlahan.
“Ma.. firza gak pengen masuk kedokteran!” Seru Firza sambil menatap mamanya yang duduk di tepi kasur Firza.
“Kamu itu apa-apaan sih.. mama sama papa kan sudah mengusahakan yang terbaik buat kamu masuk kedokteran UI” Tegas mama kepada Firza.
“Ma.. mama tau kan Firza gak pengen jadi dokter sejak SMP, Firza gak suka ma di atur-atur kayak gini, Firza udah gede ma.. udah bisa memilih sendiri yang baik buat Firza..” Jawab Firza tak mau kalah dengan mamanya.
“Firza pengen kuliah di Institut Seni Indonesia di Jogja ma..” Ucap Firza lagi namun lebih terkesan penuh harap agar mamanya menyetujui permintaannya.
“Firza, sudah cukup.. kamu bilang kamu udah gede, tapi kamu masih saja kekanakan, pake rasionalmu sedikit, kita itu ada di keluarga dokter, mama yakin kamu juga bisa jadi dokter, tapi kenapa kamu milih kesenian apalagi jogja itu jauh Firza, kalu papamu tau bagaimana? Kamu ingin mempermalukan papa dan mama di depan keluarga?” Ucap mama panjang lebar.
“Ma.. menjadi keluarga yang memiliki latar belakang dokter bukanlah pilihan Firza, biarkan Firza menetukan pilihan hidup Firza, sekali ini saja ma..” mamanya memandang tak acuh, kemudian meninggalkan Firza yang sedih akan takdir yang diterimanya.
***
Dengan terpaksa Firza mengikuti les yang sudah di jadwalkan. Setelah les selesai, Firza memilih untuk mengunjungi rumah sahabatnya di banding pulang ke rumahnya karena hanya membuatnya naik darah. Firza menekan bel yang ada di pintu rumah sahabatnya bernama Keyla beberapa kali dan akhirnya di buka oleh Keyla.
“Eh Fir, kok gak ngabarin dulu sih mau kesini?” Keyla terkejut melihat Firza yang udah nongol di depan pintu rumanya.
“Duh, Aku udah nelfon kamu beberpa kali, dan udah sms juga kok, kamu ajah yang gak tau” Jawab Firza.
“Eh, hehe iya aku baru selesai mandi Fir..Sorry sorry, yuk masuk” Ajak Keyla.
“Eh aku iri sama kamu Key..” Curhat Firza kepada Keyla dengan sedikit kesal.
“Lah, kenapa kamu iri sama aku?” tanya Keyla keheranan.
“Iyalah, kamu bisa menentukan hidup sesuai yang kamu inginkan, sedang akau terkengkang oleh perintah orang tuaku yang mengharuskan aku seperti yang mereka inginkan, itu menyebalkan” Curhat Firza penuh kekesalan.
“Hey.. ayolah Fir, kamu itu mungkin udah di takdirkan jadi dokter, lagian kamu itu anak satu-satunya, mereka pasti mengharapkan kamu menjadi yang terbaik” Jawab Keyla menasehati.
“Key.. kamu tau sendiri kan aku suka banget nari, aku pengen masuk kampus seni, bukan dokter Key..”
“Ya juga sih, memang kamu udah bilang ke mama sama papamu tentang keinginan kamu itu?” Tanya Keyla mengintrogasi.
“Ke mama udah, ke papa belum Key.. aku masih gak berani” Jawab Firza lesu.
“Terus jawaban mamamu gimana? Harus berani dong, ini kan buat masa depan yang kamu inginkan” Keyla penasaran sambil menyemangati Firza.
“Mama gak ngizinin.. apalagi papa Key, pasti langsung ditolak tanpa dengerin penjelasanku” Jawab Firza semakin lesu.
Malam ini ia memutuskan untuk menginap di rumah Keyla untuk sejenak membagi keluh kesahnya pada sahabatnya, lagi pula ia ingin menghindari mama dan papanya. Malampun semakin kelam, rumah keyla yang di dalam perumahan pun sepi karena mobil-mobil sudah bertengger di kediaman pemiliknya masing-masing, sang pemilik juga tertidur pulas menanti esok pagi. Firza memandang Keyla yang tertidur di sebelahnya dengan damai. Sedangkan ia masih saja bertahan dari rasa kantuk yang tak muncul, kepalanya sibuk memikirkan nasibnya. Dentingan jam ia rasakan, kepakan suara sayap burung yang lalu-lalai di atas atap rumah kawannya ini pun terasa di telinganya bahkan suara cicak merayappun ia dapat merasakan. Firza seperti mendapatkan sebuah jawaban dari harapannya selama ini. Firza akan mengatakan kepada kedua orang tuanya esok pagi, tentang keinginanya untuk memilih menjadi dirinya sendiri, sesuai yang ia harpkan tanpa perlu paksaan dari siapapun, ia yakin akan bahagia dengan pilihannya. Dan akhirnya ia terlelap dengan mimpi yang menghiasi tidurnya malam itu.
***
Keesokan paginya, Firza buru-buru pulang ke rumahnya dan mengumpulkan segala keberaniannya untuk mengungkapkan segala keinginannya kepada mama dan papanya.
“Ma.. Pa.. Firza ingin ngomong sesuatu” Ucap Firza di depan Mama dan Papanya di ruang keluarga, Papanya penasaran apa yang akan di bicara oleh anak tunggalnya ini karena dari wajah Firza menampakkan keseriusan.
“Mama mungkin sudah tau akan hal ini, tapi papa belum tau bahwa Firza gak pengen melanjutkan kuliah di kedokteran Pa.. Firza pengen masuk Institut Seni Indonesia di Jogja dan Firza sudah tes bahkan sudah dipastikan diterima Ma.. Pa..” Jelas Firza memandang tatapan Mama dan Papanya yang sudah menahan marah.
“Cukup. Kenapa kamu melakukan ini Firza, kamu ingin mempermalukn Papa di depan keluarga besar kita? Tidak.. Papa akan tetap menyekolahkan kamu di UI. Lupakan keinginan kamu buat sekolah seni di Jogja!” Perintah papanya tegas.
“Tidak Pa.. ini pilihan Firza. Papa gak bisa memaksakan kehendak papa begitu ajah, papa dan mama gak ingin Firza bahagia?” tanya Firza tak kalah tegas dengan ucapan papa.
“Firza tau kan kamu anak satu-satunya, kami ingin membuatmu bahagia nak..” Ucap mama lembut.
“Ma.. mama dan papa kenapa gak bisa mengerti Firza, yang kalian lakukan hanya memaksa kehendak kalian agar Firza jadi dokter, tapi Firza gak mau Ma.. Paa..kenapa kalian tidak bisa mengerti hal itu. Firza akan bahagia dengan pilihan Firza sendiri bukan atas kehendak kalian” Ucap Firza dengan sesenggukan. Ia tak percaya orang tuanya tetap memaksa meski ia benar-benar sudah mengambil keputusan.
“Firza.. dengarkan kata papa, Papa akan tetap mengirimmu ke UI bagaianapun keputusanmu” Tegas Papa.
“Bagaimana jika Firza tetap gak mau pa? Apa papa akan mengusir Firza seperti yang papa lakukan terhadap kakak dulu?”
“CUKUP FIRZA!!” Teriak Papa melototkan matanya ke mata Firza. Firza berdiri, pipinya sudah basah kuyup oleh air mata yang terus menetes, begitupun mamanya yang tidak bisa menghentikan suaminya maupun anaknya.
“Kembalilah ke kamarmu, papa tidak mau mendengar apapun lagi!” Perintah papanya memunggungi Firza, hal itu dilakukan papanya agar dapat menahan emosinya, ia tidak pernah menyangka Firza masih mengingat kejadian 10 tahun silam. Gejolak masa lalu membuat papanya kembali mengingat kakak Firza yang Ia usir karena memiliki kelainan seksual, menyukai sesama jenisnya padahal kakanya adalah mahasiswa kedokteran yang sangat pintar. Hal itu baru ketahuan ketika kakaknya yang seorang lelaki mengenalkan pacarnya yang juga berjenis kelamin laki-laki.
***
Setelah pagi itu Firza tidak keluar kamar, namun keesokan hari ia sudah melakukan aktifitasnya seperti biasa, sarapan bersama, les dan belajar menari di kamarnya. Seperti malam ini ia belajar menari dengan menggunakan baju tari yang biasa ia gunakan latihan di sanggar tari dan juga menggunakan make up layaknya seorang penari. Semuanya terasa percuma baginya, malam yang ia rasakan semakin kelam, tidak! Ini sudah pagi. Firza menari tanpa henti hingga keringatnya menetes deras dari pelipisnya, dentingan jam terdengar dengan jelas, suara seklebatan burung yang lalu lalang di atap rumahnya juga terdengar bahkan suara cicak yang merayap di diding kamarnya mengejar cicak lainnya pun tersengar jelas di telinganya, ia sudah mengambil keputusan. Suara rintihan terdengar dari dalam kamar Firza. Semua telah terlelap pada mimpinya masing-masing, begitupula Firza yang menjemput mimpinya terlebih dulu sebelum semua yang tak pernah diinginkannya terjadi. Ia tetap tidak ingin menjadi dokter dan ia memilih pergi mengejar mimpinya di lain tempat dan waktu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Fasilitas dalam Proses Pembelajaran

Analisis Unsur ekstrinsik Wacana pada novel Rantau 1 Muara bab Daster Macan

Permainan Tradisional